Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Senin, 14 Januari 2013

Drama Tradisional: Wayang



Drama merupakan salah satu kesenian yang menjadikan bahasa sebagai medianya. Berdasarkan teknik pementasannya, drama dibedakan atas bentuk drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional adalah seni drama yang berakar dan besumber dari masyarakat, secara spontan dan bersifat improvisatoris. Sedangkan drama modern adalah drama yang bertolak dari hasil sastra yang disusun untuk suatu pementasan. Jadi, perbedaan utama antara drama tradisional dengan drama modern terletak pada ada atau tidak adanya naskah.

Drama tradisional umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istana atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya. Adapun ciri-ciri drama tradisional, yaitu:

•    Pementasan dapat dilakukan di panggung terbuka (lapangan, halaman rumah, dsb.)
•    Penonton tidak perlu membayar, karena diselenggarakan dalam tempat terbuka untuk umum.
• Dalam drama tradisional biasanya berkaitan dengan upacara yang berhubungan dengan suatu kepercayaan.
•    Ceritanya turun temurun atau diambil dari tradisi sendiri (hikayat, dongeng, sejarah, dan sebagainya).
Drama tradisional tidak menggunakan naskah (bersifat improvisasi). Sifatnya supel, artinya di pentaskan di sembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang di daerah-daerah seluruh Indonesia. Crita-cerita yang di bawakan dalam teater tradisional umumnya bersumber dari cerita-cerita yang sudah hidup dan berakar dalam masyarakat, seperti mitos, legenda, dan sebagainya.
Dalam drama tradisional, penonton merupakan bagian dari pertunjukan dan di mungkinkan berinteraksi dengan pemain di panggung. Dalam teater modern batas antara penonton dan pemain cukup tegas.

Wayang

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang.

 Wayang Golek

Wayang golek dipertunjukan dengan boneka-boneka dari kayu, tiga dimensi dan diberi busana; repertori di Jawa tengah terdiri dari lakon-lakon yang berdasarkan pada ceritra-ceritra tentang seorang pangeran Arab yaitu Amir Hamzah (seorang paman Nabi Muhammad). Wayang golek sangat popular di jawa (terutama Jawa Barat dan Jogjakarta di Jawa Tengah), namun pertunjukan wayang golek tidak dikenal di Bali.

Busana Wayang Golek di Jawa barat yang penuh warna temasuk tiruan dari busana istana jawa. Beberapa tokoh pria dibusanai dengan baju lengan panjang bersulam emas dari abad ke-18 atau ke-19 dari inspirasi eropa yang dikombinasi dengan topi serta serban, beberapa dalam gaya Arab. Akan tetapi semua boneka menganakan kain batik Jawa panjang untuk menyembunyikan tangan dalang yang memegang boneka pada pegangan kain yang di tengah.

Konstruksi sebuah boneka golek adalah sederhana. Komponen-komponen kayu yang utama adalah: sebuah torso yang dipotong bagian atasnya yang kasar dengan sebuah lubang vertikal yang dibor di tengahnya; lengan-lengan dengan dua bagian yang diikat menjadi satu pada siku dan berjuntai bebas dari bahu; kepala diukir dengan cermat dan dicat, lengkap dengan hiasan kepala, dengan leher yang sedikit agak dipanjangkan; akhirnya sebuah kayu ditengah yang diruncingkan yang berfungsi juga sebagai pegangan, serta dua kayu yang lebih langsing yang dikaitkan pada tangan. Mekanisme berjalan sebagai berikut: kayu ditengah, melewati torso dengan bebas dan menyembul diantara lengan, berfungsi sebagai poros bagi kepala, yang lehernya di pasang kencang pada ujung atas dari kayu; di bawah torso kayu itu membesar untuk menghindari tubuh melorot kebawah, tetapi dengan cukup peluang untuk menciptakan efek boneka untuk terengah–engah seperti setelah perang, atau karena kemarahan, dengan berulang–ulang mendoromg tuduh ke atas dan membiarkannya ke bawah lagi. Dengan memutar kayu di tengah, dalang dapat membuat kepala golek beputar ke semua arah yang sangat menhhidupkan tarinya dan gerak–gerak yang lain brsama–sama dengan gerak–gerak lengan yang dihasilkan oleh kayu yang diikatkan pada tangan–tangan.

Di Jawa Barat, diantara orang sunda wayang golek begitu popular hingga wayang itu lebih diutamakan di atas wayang kulit,dan termasuk repertoar dari wayang kulit; lakon–lakon yang berdasarkan pada Ramayana dam mahabharata (purwa) serta legenda–legenda panji (gedhog) dipertunjukan di sana dan juga ceritera – ceritera Amir Hamzah


sumber:  Prayitno, Hadi. “Materi Drama” bastinado.blogspot.com. [20 Juli 2010].
Clare, Holt. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: arti.line.

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<