Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 01 Maret 2013

Deras Hujan

 
Aku suka melongok ke luar jendela, melihat hujan menampar-nampar wajah tanah. Di balik pagar, samar-samar kulihat seorang lelaki berjaket hitam dengan tubuh kuyup mengetukan gembok hingga menghasilkan bunyi gaduh.

Sontak aku mencari payung di antara tumpukan yang berserakan di kamar. Tidak ada. Karena panik akhirnya aku memanggil adikku dan menyuruhnya menemui lelaki berjaket hitam itu.

"Cari siapa ya?" kata adikku dengan suara sedikit.

"Anne ada?" tanya lelaki itu dengan suara gemetar.

"Mbak Anne—“ karena merasa aku tidak mau menemui lelaki itu akhirnya ia berbohong—”Nggak ada, lagi keluar."

"Oh, masih di kampus? Atau ke mana ya?"

"Kurang tahu," jawabnya datar.

"Lama ngga kira-kira?"

"Ngga tau."

“Oh, ya udah, titip salam aja ya dari Danis."

Danis. Kenapa dia datang? Tiba-tiba teringat kejadian dua tahun lalu. Kenapa tadi bukan aku yang menyaut? Kenapa aku tidak keluar dan menyuruh Danis masuk?

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Rasa bersalah memburuku seketika.

Hujan kembali menderas. Mungkin Danis masih di jalan. Hujan pasti menempa tubuhnya berkali-kali. Tiba-tiba perasaan khawatir menyergap.
 *

Karena merasa bersalah, aku memberanikan diri mengirim SMS pada Danis. Mungkin memang sekarang waktunya.


Ada perlu apa ke rumah?

Maaf ya, ga sempet ketemu.




Ga apa.

Tadi aku dari jobfair di dekat komplek rumahmu.

Karena hujan, niatnya aku mau neduh di rumah kamu.



Kenapa kita seolah sudah biasa dengan hal semacam ini? Bukankah waktu dua tahun cukup untuk mengubah segala sesuatu?

Ponsel bergetar panjang. Danis calling. Dengan ragu kujawab panggilannya.

"Ya, halo," kataku pelan. Tidak ada suara di ujung sana.

"Kenapa Dan?" Ingin sekali rasanya menanyakan keadaan Danis, tapi egoku berhasil menahan.

"Kamu masih di sana, kan?" tanyaku lagi dengan suara dibuat senormal mungkin. Padahal hatiku sejak tadi bergemuruh hebat. Ternyata masih seperti ini.

Terdengar suara gumaman di ujung telepon. "Dulu, kalau situasinya begini, kamu pasti nanyain keadaan aku. Ngga apa-apa kan? Tadi hujannya deras banget--"

"Dulu."

"Ya, dulu,” kata Danis pelan. “Dan kamu sepertinya sedikit berubah sekarang,” lanjutnya.

Kemudian hening lagi.

"Aku tahu, waktu dua tahun pasti sedikit banyak mengubah kamu. Dan banyak hal yang ngga aku ketahui tentang itu.”

Dan aku juga. Aku bergumam tidak jelas.

"Apa kabar?”

“Baik.”

"Kenapa aku merasa kamu bersikap dingin sama aku?"

"Kamu melanggar janji."

Danis terperangah. "Janji? An, apa waktu dua tahun ngga cukup?" katanya sedikit jengah.

Aku mendecakkan lidah. "Ini terlalu tiba-tiba.”

"Ya tapi keadaan yang membuat aku mesti menemui kamu lagi.”

“Dan kenapa mesti hari ini?” tanyaku lebih kepada dirinya sendiri.

“Karena emang harus hari ini.”

"Ya," kataku menggantung.

Jeda cukup panjang. Keduanya sama-sama diam. “Gimana kuliah kamu, An?” tanyanya.

“Lancar. Aku masih menyusun skripsi. Kamu?” akhirnya aku sedikit melunakkan hati.

“Aku baru selesai sidang skripsi. Tinggal nunggu wisuda. Dan sekarang, yah, jadi freelance graphic designer aja.“

Aku hanya bergumam pelan. Rupanya aku sudah tertinggal jauh.

"Kamu masih mengajar paud?"

"Ya."

"Ternyata masih sama."

"Begitulah."

Jeda lagi. Cukup lama. Kemudian terdengar suara napas berat. "An, aku mau mengabarkan suatu hal."

"Apa?"

"Bulan depan rencananya aku akan menikah."

Tenggorokanku rasanya tercekat. Kesadaranku naik turun. Hatiku terguncang hebat. Tanpa sadar, sudut mataku basah.

"O-oh." Aku hanya bisa mengatakan itu. Semoga saja suaraku tidak berubah.

"Nanti kalau undangannya udah jadi, aku kasih ke kamu."

Lagi-lagi aku hanya bergumam. Aku sudah muak mendengar obrolan panjang ini. Sedari tadi aku berusaha sebisa mungkin menguasai perasaan yang sudah tidak karuan ini. Kenapa dia dengan santai mengatakan hal itu? Kenapa secepat itu perasaannya bisa berubah?

"Kamu... ngga apa-apa kan, An?"

Klik. Kemudian panggilan begitu saja kuputuskan. Tangis yang sedari tadi kutahan sekarang burai.

Hujan masih menderas di luar sana. Semakin deras.

*

Aku menenggelamkan kepalaku di balik bantal, berusaha meredam tangis ini sebisanya. Padahal aku tahu, menangisi lelaki yang bukan siapa-siapa adalah hal sia-sia. Tapi tangis ini tetap saja pecah.

Rasanya ada yang menyesaki dada ini. Segalanya tertahan diam, mengganjal dan tak bisa luruh bersama tangis. Mungkin karena dia sangat berarti. Mungkin juga karena dalam waktu dua tahun ini aku masih menyisakan sehimpit harap untuknya. Aku terlalu yakin dia akan kembali. Dan, ya, dia memang kembali—tapi dalam keadaan yang sama sekali tak pernah kuingini.

*

“Hey, udah lama ya? Maaf tadi hujannya deras banget. Jadi aku nunggu sampai agak reda dulu. Tumben kamu ngajak ketemuan? Kangen ya?” kata Danis seketika duduk di hadapanku dengan wajah cerah.

“Dasar kepedean!”

Danis terkekeh begitu saja. Kedua matanya ikut tenggelam.

“Jadi, ada apa? Katanya ada hal penting yang mau diomongin?"

Ia kemudian memesan coklat hangat kemudian menatapku lama, seakan mengisyaratkan pertanyaan yang sama.

"Aku pengin kita putus."

"Hah?" Kontan Danis menatapku heran. "Kamu lagi becanda ya? Haha, oh iya, minggu depan kita satu tahun ya? Makanya kamu sok ngasih kejutan begini," katanya menampik pernyataanku.

"Aku serius, Dan. Kita putus ya," kataku hati-hati.

Raut wajah Danis berubah serius--malah lebih terkesan tegang. "Apa alasannya? Kita baik-baik aja kan selama ini? Walaupun kita longdistance dan jarang banget ketemu, tapi semua ngga masalah kan?"

"Karena itu, lebih baik kita putus. Aku pengin kita fokus sama passion  masing-masing. Aku ngga mau membebani kamu dengan hubungan ini."

"Aku ngga ngerasa terbebani sama sekali. Aku ngga ngerti, kamu kenapa sih?" katanya dengan suara melemah.

"Aku jenuh. Toh kita sama-sama terbiasa sendiri,” kataku pelan. Tepat di manik matanya kutemukan gurat kecewa. “Dengan atau tanpa kamu aku mesti berdiri sendiri kan? Pada akhirnya hubungan ini malah menyulitkan kita untuk keluar dari zona nyaman."

"Kalau di tengah jalan aku atau kamu bertemu orang lain dan merasa nyaman satu sama lain, gimana?"

Aku terkesiap. Dengan pasrah kujawab pertanyaannya. "Ya kita hanya perlu mengikuti alur itu.”

Danis menatapku lekat-lekat, matanya seolah melucuti segala yang kupikirkan.

"Itu artinya kamu siap kehilangan aku?"

Aku hanya tersenyum kecut lalu mengangkat bahu. "Aku percaya, cinta sejati itu selalu kembali. Aku hanya perlu melepas kamu, akan ada tangan Tuhan yang membuatmu kembali--kalau emang kamu yang sejati."

"Baiklah," katanya tak bisa berkutik.

"Boleh aku minta satu hal lagi," kataku tak yakin.

"Apa?"

"Setelah ini, tolong jangan hubungi aku. Kecuali aku yang lebih dulu menghubungimu."

Danis menghela napas panjang dan menjawab dengan sabar. "Oke," katanya lirih lalu menatap tiap rintik yang merembesi jendela.

Hujan menjadi gerimis yang begitu panjang. Kita sama-sama diam menikmati lagu perpisahan.

***





0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<