Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Rabu, 17 Oktober 2012

Ketika Cinta Merekah Pada Senyummu

image from deviantart

Aku menyukainya. Iya, aku sudah sangat paham dengan perasaan bunga yang mekar karenanya. Mulai terbiasa dengan refleks tubuh yang menegang hanya karena mendengar suaranya. Kemudian terpaku begitu saja melihatnya berceloteh tepat di depanku. Hilang kendali sesaat lalu jatuh pada mata teduhnya. Berkali-kali.

Ini mungkin gila, tapi nyatanya aku sudah hanyut dalam senyum embun itu. Seperti candu, melihatnya seujung tengkuk saja sudah menjadi keharusan. Kalau tidak, maka rindu ini semakin meradang.

Ada yang salah, aku tahu pasti. Ada yang berontak dalam hati ketika berkali-kali kusebut namanya. Mungkin, nurani. Mungkin juga Allah menegur secara perlahan karena tanpa sadar semua menjadi berporos padanya.


“Kenapa senyam-senyum terus sih, Lin?” tanya Tania sembari menyenggol tanganku perlahan. “Ah! Aku tahuuuu, pasti dia lagi deeeh,” tukas Tania mengerlingkan mata.
Aku mendadak sadar total kemudian membekap mulut Tania yang mulai menceracau.

“Nggak! Udahlaaah, yuk pulang.” Aku sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan karena takut ada yang mencuri dengar.

*

Oh! Aku mendadak lupa bernapas ketika mataku tanpa sengaja bertumbuk dengan matanya. Di lorong, dia duduk dengan laptop di pangkuan. Entah nyata atau tidak, seperti ada sesimpul senyum tipis di bibirnya. Dan hatiku sudah melengking tertahan. Benar-benar merepotkan.

Selalu begitu, selama kurun waktu satu tahun ini dia begitu melekat dalam ingatan. Ada yang luput dari segala ingatan tentangnya, bahwa ingatanku tentangnya mungkin saja bisa menjadi bumerang yang sewaktu-waktu menghadang perjalanan ini. Dan seperti bom waktu, segala yang bisu bisa saja meledak tumpah dalam permukaan. Ah, tidak!

*

“Linaaa, gawat! Barusan aku dapet kabar yang sangaaat—“ pekik Tania tertahan lalu memejamkan mata sejenak. Ia lalu menatap mataku lekat dan berujar pelan, “dia lagi suka sama seseorang.”
Ada yang tertohok dalam dada, tapi sudut bibir ini berusaha sebisa mungkin merekahkan senyuman.

“Kabar dari mana sih, Tan?” tanyaku dengan suara senormal mungkin.

“Kamu tahu sendiri kan agen rahasiaku banyak! Dan kamu tahu nggak, Lin? Cewek yang dia sukai itu setipe gitu sama dia, cewek yang—“

“Udah deh,” tukasku tak sanggup mendengarnya. Aku menghela napas panjang dan tak tahan bertanya, “Jadi aku kenal nggak sama dia?”

“Bisa iya, bisa nggak. Ini masih dugaan sementara sih. Kamu, nggak, apa kan?” tanyanya hati-hati.

“Dari tadi juga udah kenapa-napa!”

Tania malah meringis geli. “Dan kamu tahu nggak, ternyata dia itu orang yang sangat sibuk! Banyak agenda di sana-sini, acara ini-itu setiap harinya. Pantes aja dia jarang kelihatan di kampus pas perkuliahan udah selesai. Organisasi yang dia ikuti itu...”

Kemudian Tania membeberkan beberapa organisasi dan perkumpulan yang biasa dia ikuti. Hampir separuh dari apa yang ia jelaskan tidak aku mengerti. Semuanya terasa baru dan membuat sebagian hatiku menginginkannya berlalu. Dia terasa semakin sulit dijangkau. Jika aku bertahan, yang tersentuh selamanya mungkin hanya udara. Sepertinya emang udah saatnya melupakan.

*

Perasaan tiba-tiba jadi semrawut. Mataku tiba-tiba berkabut. Ada kehangatan menjalari pipi yang basah. Ternyata sesesak ini rasanya luka yang patah.

“Kenapa sayang?” suara lembut Mama sontak mengagetkanku. Kontan aku mendekapnya erat.

“Ma, aku suka sama seseorang. Udah satu tahun ini aku jaga dia dalam hati. Aku harap dia juga melakukan hal yang sama. Tapi nyatanya dia suka sama orang lain, Ma,” kataku lirih.

“Kamu baru suka aja kan? Belum sampai taraf terobsesi?”

“Nggak tahu. Yang pasti selama ini aku nggak pernah menoleh sama lelaki lain karena dia. Di ingatan aku cuma ada dia. Walaupun banyak lelaki lain yang bolak-balik cari perhatian tapi fokus aku cuma ada di dia.”

“Nggak boleh gitu, sayang. Kamu belum tahu dia gimana kan, yang kamu sukai itu hanya dia yang tampak dari luar. Kamu belum tahu dia yang sebenarnya. Emang kamu yakin cuma dia yang pantas kamu tunggu? Apa dia bener-bener bisa kamu andelin?” jelas Mama lembut.

Aku menggeleng. Kemudian menunggu ucapan Mama berikutnya.

“Sekarang, udah nggak boleh main-main. Kamu jaga cinta kamu buat calon suami kamu aja. Inget, kamu ini calon istri seseorang yang entah ada dimana. Jangan kamu kasih duluan cinta kamu buat orang yang nggak jelas. Kamu nggak mau kan selamanya masih dibayang-bayangi cinta semu ini, sementara kamu harus menjalani hari-hari baru sama dia, masa depanmu?”

Aku menggeleng lagi. Tidak tahan untuk bertanya,”Berarti aku nggak boleh suka-sukaan sama orang, Ma?”

“Suka, boleh. Toh, kamu nggak bisa memprediksi kapan hati kamu bakal jatuh sama seseorang kan? Tapi jangan berlebihan dan menyulitkan kamu. Cukup hati kamu dan Allah yang tahu. Sekarang, jalani hidup kamu apa adanya saja, ikuti alur, bukan arus. Jangan sampai perasaan kamu menenggelamkan bagian hidupmu yang lain. Paham?”

Aku sedikit tak paham, tapi sinyal dalam otakku menyuruh untuk menganggukkan kepala pelan. Segala ucapan Mama benar. Aku tidak mau tenggelam dalam sepucuk cinta masa lalu. Biar, biar mengalir apa adanya saja. Toh, cinta tak pernah lupa kemana ia harus pulang.

NL, 2012

3 komentar:

  1. hehehhe, jangan2 bukun fiksi tapi nyata nih yah? hihi serrr...

    iya bener tuh kata mama, tapi wjaar kau jga dulu pernh Gtu, eh untungnya dia ga suka sama orang lain. Jadi pilih kabur aja yah. hehe..


    skrang mah udah tahu dan ISLAM mengajarkan yng lebih baik. ceritamu bagus, Berbakt juga nih jadi penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. duh *blushing*
      iya ukhti, cerpen di atas bentuk penyadaran secara halus aja kok :)
      Aamiin semoga yah hehe

      Hapus
  2. huy... mohon maaf lahir dan batin yak..
    Xixixxi.. Keren postingannya..

    BalasHapus

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<