Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Rabu, 25 September 2013

Dua Pucuk Surat dari Azhar Nurun Ala

 Surat cinta untukmu, yang tak pernah tersampaikan.
Raut itu… Senyum itu… Tatapan itu…
    Rasa ini terlalu sulit didefinisikan. Atau mungkin rasa ini memang dicipta tanpa definisi. Hanya bisa dirasa. Penaka embun yang menetes di tengah gurun, entah mengapa tawa itu begitu menyegarkan. Membangkitkan gelora jiwa untuk terus menjalani hidup dengan gairah.

    Sesosok wanita innosence yang penuh tanda tanya. Penuh misteri keluguan. Dia hidup dengan caranya, dia mencintai dengan caranya, seperti wanita-wanita lainnya. Tidak begitu pintar, tidak juga begitu jelita. Biasa saja. Tidak banyak bicara, tidak banyak tingkahnya, lagi-lagi biasa saja. Tapi entah mengapa ia begitu mempesona, membuat relung hati terus bergetar. Aura ketulusannya memancar menembus serat-serat jiwa.

    Dialah wanita yang telah melipatgandakan energiku. Dialah wanita yang dengan tingkah lugunya selalu menghiburku. Menjauhkanku dari rasa jenuh. Menghindarkanku dari rasa bosan. Selalu ada semangat yang terbentuk dalam lingkaran aku dan dia. Cinta ini konstruktif. Tidak ada pujian-pujian, hanya cerita yang kadang beriring canda. Tidak ada janji-janji, hanya pancaran semangat. Ya, dengan segala subjektifitas diri ini aku merasakan: Cinta ini konstruktif.

    Dia kuncup bunga, dan aku ingin menjadi sinar matahari yang membuatnya mekar. Dia taman gersang, dan aku ingin menjadi hujan yang menghijaukannya. Terlalu melankolis untuk diibaratkan sebagai laut dengan pantai. Api dengan panas. Atau salju dengan dingin. Terlalu khayal untuk diibaratkan seperti raja dan ratu. Pangeran dan Tuan Putri. Atau Romeo dan Juliet. Cinta ini tidak serumit itu. Sederhana saja.

    Allah telah menciptakan cinta jiwa. Aku ingin merawat ciptaan Allah ini, dalam setiap do’a-do’aku.  Yang aku rasakan sederhana. Aku bahagia saat dia tersenyum. Aku merasa dewasa saat berada di dekatnya. Aku merasa bisa membuatnya bahagia. Kalaulah memang cinta ini tidak berujung di pelaminan, bantu aku melupakan cinta ini. Tapi kalaulah Engkau telah menakdirkan cinta ini berujud dalam ikatan yang Engkau ridho’i, tenggelamkan dia dalam lautan cintaku.
Dan ini, surat cinta untukku yang lahir dari rahim ketidakberdayaan.

        Hati itu nampaknya terlalu dalam untuk diselami. Sepertinya segala daya dan upaya yang telah dipersiapkan untuk misi membongkar misteri keluguan itu harus dihentikan di sini. Terlalu ambisius mempertahankan cinta jiwa yang tak jelas muaranya. Yang ada sekarang hanya rasa ingin tahu yang harus dikubur oleh realitas ketidakpastian. Semua tiba-tiba sirna, atau kalaupun masih ada, anggap saja itu sudah sirna. Itu resiko, resiko cinta jiwa. Karena jiwa tak selalu bertemu dengan jiwa. Kadang ia harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang dalam subjektivitas pecinta itu begitu tidak adil dan menyakitkan. Kadang dia juga sengaja dipertemukan dengan bentuk lain, akhirnya cinta tidak dapat menyatu.

        Cinta sudah membara, obsesi sudah menggelora, tapi takdir tidak mampir di sini. Ia terlalu sombong. Realitas ini begitu sadis, bahkan gairah kehidupan seperti dikungkung oleh kekejaman takdir. Tidak ada lagi senyum terlempar, kini diri ini seperti perahu tanpa layar. Termangu di tengah laut lepas. Tidak tahu arah, kalaupun tahu, tidak tahu bagaimana mengikuti arah itu. Serat-serat jiwa kembali mengerut, seluruh katup-katup hati tertutup. Cinta selalu berakhir dengan derita, kata Jenderal Tien Feng.

        Itulah yang dirasa, kalau kita terlalu serius memaknai cinta jiwa. Karena cinta jiwa terlalu instan, tidak dibangun dengan fondasi yang kokoh. Karena kadang cinta jiwa hanya dibangun di atas obsesi kebanggaan, atau mungkin penetrasi kegelisahan. Sebab itu Anis Matta mengajak kita melupakan cinta jiwa yang tidak berujung di pelaminan. Itu terlalu menyakitkan. Karena hanya di pelaminan lah, cinta jiwa dan realitas kehidupan dengan mesra diparadekan. Pelaminan adalah panggung di mana gejolak bisa dilampiaskan ke dalam bentuk tindakan. Karena cinta jiwa harus diikuti oleh sentuhan fisik.

        Kita harus jujur menilai keadaan. Cinta memang terlalu sulit didefinisikan, oleh karena itu ia kadang hanya berujung pada gerak bibir “aku mencintaimu”. Tapi cinta bukan soal kata, ini lebih kepada sebuah gelora. Cinta seharusnya bisa mengantarkan kita pada produktifitas, karena itu, kalau cinta justru membuat kita menjadi tidak produktif, lupakanlah. Cinta selayaknya mendekatkan kita dengan Sang Pencipta, karena itu, kalau cinta justru membuat kita lupa, lupakanlah. Dan cinta seharusnya berakhir pada eksekusi memberi, memberi apapun demi menjaga kesinambungan cinta. Karena cinta jiwa yang sesungguhnya harus terus kita jaga.

        Cinta memang seharusnya konstruktif dan sederhana. Ia tidak butuh sentuhan majas hiperbola, apalagi personifikasi, seolah cinta begitu menghanyutkan. “Kalau jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat,” kata Efek Rumah Kaca dalam salah satu lirik lagunya.
        Masa muda, masa penuh dengan gejolak produktivitas. Tapi cinta kadang membuat kita fokus pada syair-syair, pujian-pujian, gombalan-gombalan, yang membuat kita lupa bahwa kita punya tugas sejarah dan punya beban masa depan. Masa muda, masa pelejitan potensi. Tapi cinta kadang membuat kita terkungkung dalam dunia merah muda yang begitu kelam yang membuat potensi kejayaan makin terpendam.

        Cinta Jiwa yang tidak konstruktif, musnahkanlah.
        Cinta Jiwa yang tidak berujung di pelaminan, lupakanlah.

Ya, begitulah, Azhar Nurun Ala berkisah tentang cinta. Dan dua pucuk surat itu lagi-lagi mengingatkanku bagaimana mestinya cinta bermuara.

1 komentar:

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<