Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 29 November 2013

Dan

image credit here 

"Hai", sapamu beberapa waktu lalu. Begitu tiba-tiba. Kemudian sekali waktu aku merasa kita menyengaja mencipta ruang cakap masing-masing.

Kau bercerita tentang kotamu yang padat dengan kesibukan orang lalu-lalang. Aku patuh mendengarkan, sesekali menanggapi dengan kata-kataku yang asal. Kau seperti memintaku bercerita juga. Kemudian tanpa sadar kita saling mendengarkan—hal yang tak pernah kita lakukan dulu.

Ada kekhawatiran yang mengkristal dalam rongga dadaku. Kenapa kau seperti tak pernah menakar jarak dan waktu? Padahal semua itu bisa saja mencipta perubahan yang tak bisa kita tawar?

Lima tahun, Dan. Kau-aku mungkin sudah sama-sama lupa. Kisah kita sudah terlampau jauh meninggalkan serakan kenangan. Selalu ada yang berubah ketika bentangan jarak dan waktu menempa tiap inchi ingatan kita. Kau tahu, Dan, seperti kata seorang filsuf ternama itu, sebab yang abadi adalah perubahan.

Kau akan paham mengapa aku tak mau melulu kaucemaskan. Seperti saat kaudapati aku sedang tak baik-baik saja. Kau selalu siap menjadi pendengar paling setia. Siaga menjadi tempatku memulangkan cerita.

"Aku baik-baik saja. Ada satu waktu dimana kau tak mau menceritakan gelisahmu pada siapa pun," kataku seketika. Dan kau tampak kecewa sembari berusaha menarik segaris senyum tipis.

"Dan, seberapa jauh kau mengenalku?"

Kau mendongak tak paham. "Aku tak bisa menakarnya. Aku hanya berusaha mengenalmu sebisanya," katamu begitu lugu.

Seketika aku tersenyum getir. Kudapati satu kesimpulan yang membuatku harus mengakhiri percapakan kita. "Kalau begitu, hentikan usahamu, Dan."

"Maksudmu?"

"Kau tahu, kita sudah terlalu jauh meninggalkan cerita tempo dulu. Tapi masih kudapati kau sebagai seorang lelaki yang setia menunggu—“

Ucapanku menggantung, kau tiba-tiba berujar tak sabar. "Lantas, apa itu salah?"

"Tidak, Dan. Letak kesalahan ada pada apa yang luput dalam kenang kita masing-masing." Emosiku tiba-tiba meluruh pada tiap kata yang terbata kuucapkan.

"Sekarang, dengan sepenuh maaf, kuminta kau pergi dan temukan yang luput itu. Kemudian, jika suatu waktu kita bertemu, kita kumpulkan pemahaman sembari membuktikan—apakah kau masih menjadi lelaki penyetia atau tidak."

Kala itu, kautatap aku dengan mata kaca. Aku seperti diadili dengan tatapanmu yang tak biasa. Aku tak sanggup menahannya. Kutundukkan pandanganku lantas menjauh darimu. Membersamai tiap ingatan yang melesak jatuh menjelma bulir bening di pipiku yang basah.

Lima tahun lalu, keputusan sepihak yang buru-buru kubuat. Juga pada sepucuk surat yang kutulis dengan tergesa. Aku mohon maaf. Dengan kejujuran hati, kukatakan ini padamu, aku juga ingin menyetiai pertemuan-pertemuan kita—meski yang kautahu adalah sebaliknya.


Bandung, 30 November 2013

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<