Dia lelaki berhati paling lurus*
yang pernah kukenal. Wajahnya meneduhkan. Matanya sayu namun bercahaya.
Kebesaran jiwanya sehamparan samudera. Tutur katanya tenang, tapi menguatkan.
Dia, sulungku yang kini telah bersinar.
Sering
kupinta kau bercerita tentang hidup, tentang cita-cita, juga tentang seberkas
rasa yang kautekan diam-diam, dibarengi iringan doa panjang. Kala itu kau hanya
tersenyum lantas mengusap kepalaku pelan. Pendek-pendek kau bercerita juga. Aku
sering menuntut kau untuk bercerita lebih. Tapi lagi-lagi kau hanya tertawa
lebar. Kau gemar sekali membuatku penasaran.
Tanpa
banyak bercerita, nyatanya kau telah mengajariku banyak hal. Diammu adalah
perbuatan. Kau tempatku belajar dengan segala macam peniruan—setelah pada ibu
dan ayah. Tanpa sadar semua yang kulakukan selalu terpaut dan amat bergantung
padamu.
Aku
masih belum mampu berjalan sendirian. Aku masih begitu nyaman menjadi perempuan
yang kaujaga dalam diam. Aku masih ingin kaudampingi menelusuri jalan-jalan besar—seperti saat kanak-kanak dulu. Kita
selalu pulang bersama. Kausejajari langkahku menelusuri jalan rumah kita,
sembari menceritakan banyak hal yang ditemui sepanjang jalan.
“Seandainya…, Kakak punya sepeda, pasti kita nggak
akan jalan begini,” celetukku asal.
“Tapi
kita nggak akan bisa sepuas ini lihat jalanan,” katamu sambil terkekeh sendiri.
“Iya
juga sih.” Aku mengiyakan juga. Otakku seperti sudah diatur untuk tidak pernah
membantah ucapanmu. Ya, sedari
kecil kita memang sudah terbiasa berjalan kaki. Seperti katamu, kita bisa
menikmati perjalanan. Kita bisa memaknai setiap yang ditemui. Pun, kita bisa
menceritakan banyak hal.
“Oh,
iya, tadi, nilai akidah adek paling
besar, loh, Kak!” Aku berseru girang kemudian hendak mengambil selembar kertas
ulangan. Seperti biasa, kau hanya tertawa lebar. Lantas tak mau kalah, dengan
bangga kau berujar,”Siapa dulu kakaknya!”
Kita pun tertawa bersama. Masih teringat saat itu aku langsung manggut-manggut,
sembari memikirkan kebenaran fakta yang kaukatakan.
Untuk hal yang satu itu, aku tak bisa mengelak. Kau selalu lebih unggul dariku.
Walaupun aku selalu mengusahakan diri mencapai hal yang lebih darimu.
Kini
aku merasa kau mendapatkan hal lebih dari yang kuharapkan. Awalnya aku selalu
mengkhawatirkan teman seperjalananmu kelak.
Apakah ia bisa mengimbangi langkah kakimu yang terburu-buru? Sementara aku pun
masih suka tertinggal jauh di belakangmu. Apakah ia menyukai jalan bebatuan?
Sementara aku pun masih gemar
mengeluh kelelahan.
Tapi nyatanya kekhawatiranku tidak beralasan. Dia yang kaupilih adalah dia yang
kuharapkan.
Sekarang
kau memulai perjalanan baru dengan perempuan berkerudung lembut itu. Setelah
sebelumnya kau mengguncang arsynya
dengan pernyataan cintamu yang mulia. Hari itu, ricik hujan jatuh membersamai
doa-doa yang dilangitkan untukmu. Kau baru saja mendeklarasikan diri menjadi seorang pengemudi.
Perjalanan panjang baru dimulai.
Semoga segala perbekalan selalu Ia cukupkan.
Jadilah
pengemudi yang taat peraturan. Bawalah penumpang
yang kaupilih selamat sampai tujuan. Seperti saat kauceritakan dulu: kelak kau ingin sekali mengendarai kendaraan menuju surga-Nya. Maka dengan segera aku dan semesta mengamini doamu. Selamat menempuh perjalanan. Sesekali,
mampirlah sebentar, ceritakan padaku berbagai hal yang kautemui sepanjang
jalan.
*terinspirasi dari karakter seorang tokoh di novel Kau, Aku dan
Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye.
Allahumma aamiin... Membanya serasa melembutkan hati, semoga kesabaran selalu sabar menghampiri.
BalasHapus*membacanya
BalasHapus