Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 26 Juli 2014

Untuk Papa

Pa, aku ingin..

Papa yang selalu aku hormati, bagaimana kabarmu? Semoga selalu diberi kesehatan, selalu dalam penjagaan-Nya, senantiasa disayang dan semakin sayang pada-Nya. Aamiin.

Pa, usiaku sudah 21 tahun. Aku pikir papa sudah melihatku sebagai anak perempuanmu yang mendewasa. Nyatanya kau masih memperlakukanku seperti anak kecil. Kau masih khawatir jika aku pulang malam. Lantas mau direpotkan untuk menjemputku di terminal. Padahal sebelumnya, aku terbiasa pulang sendirian. Aku tak pernah meminta jemput seperti anak perempuan pada umumnya. Aku tahu, kau tidak kuat dengan dingin. Jadi, aku ingin kau hanya menunggu, duduk di kursimu seperti biasa, biar aku yang datang ke rumah dengan wajah cerah.

Jangan pernah merepotkan orang lain selama kamu bisa melakukannya sendiri, katamu. Maka beginilah aku, ingin menjadi perempuan dewasa dan mandiri, setidaknya di hadapanmu. Tapi ternyata ada yang luput. Aku tak mau membuatmu khawatir, tapi aku malah bertingkah mengkhawatirkan. Seperti ketika kaudapati aku pulang malam, sendirian, dan tidak bilang. Kau marah seketika. Kau menyerangku dengan kata-katamu yang tak biasa. Suaramu meninggi, rahangmu mengeras. Nyaliku ciut. Untuk meminta maaf pun aku tak bisa. Maaf, Pa, aku hanya tak mau merepotkanmu.

Aku selalu menganggapmu dingin, tidak perhatian, cuek, dan overprotektif. Kau banyak melarangku ini-itu. Aku merasa kau terlalu membatasiku. Aku pernah merasa seperti dipenjara. Tapi kini aku baru sadar, kau hanya tidak ingin anak perempuanmu jadi tukang keluyuran. Kau menyetelku menjadi anak rumahan yang bisa menjaga diri. Sekarang aku tahu, kau hanya ingin melindungiku, menjagaku dengan sebaik-baiknya. 

Aku berterima kasih, Pa. Sikap tegas yang sering kau munculkan, membuatku harus berpikir ulang untuk bersikap manja. Apa yang kuinginkan akan kaupenuhi dengan syarat. Aku harus benar-benar disiplin dan patuh padamu. Walaupun hal itu tanpa sadar membuatku menciptakan jarak padamu. Aku segan. Terlalu takut untuk meminta, apalagi merengek. Jangan heran jika sampai seusia ini, aku tak pernah meminta macam-macam. Tapi kau selalu memberikan apa yang kubutuhkan secara tiba-tiba. Tanpa pernah aku meminta.

Pa, aku minta maaf. Sebelumnya, terlalu banyak pandangan negatif yang harus kutepis padamu. Aku terlalu dini untuk memahami caramu mencintaiku. Aku hanya bisa menyimpulkan dengan tergesa, tanpa tahu maksud baik yang ingin kautunjukkan. Padahal kau sedang mengajariku menjadi perempuan kuat, mandiri, dan bisa diandalkan. Kau tanamkan pembelajaran bahwa perempuan harus bisa menjaga diri, lembut dalam bertutur, tapi tegas dalam berprinsip.

Sekarang, aku paham benar, kau mencintaiku dengan caramu sendiri. Begitu sederhana dan apa adanya. Lebih dari yang kuketahui sebelumnya. Aku tidak akan merasa tertekan lagi dengan segala bentuk perlindunganmu. Maka, kau akan tetap menjadi pelindungku, kan, Pa?

Cirebon, 14 Juni 2014. 10: 28.
image credit here

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<