Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 08 Agustus 2014

Percayalah...


 image credit: here

"Jauhi lelaki itu, nduk," katamu lembut, tapi terdengar tegas di telingaku. 
"Kau belum tahu seluk-beluknya, keluarganya, bahkan karakter aslinya. Yang kau ketahui baru bungkusnya saja. Mana dia itu orang jauh, nduk. Jauhi dia, ayahmu takkan suka."
"Kenapa, Bu? Dia orang baik. Aku merasa sudah mengenalnya sejak lama, Bu."
"Ayahmu takkan suka. Itu sudah menjadi alasan terkuat untuk kau menjauhinya. Sudah, ibu tidak mau dengar apa-apa lagi tentangnya. Kau, tidurlah, sudah malam."
Aku mengangguk lemas. Tarikan napas panjang yang sedari tadi kutahan seolah belum cukup megeluarkan kekecewaanku. Selalu begini. Ujung dari tiap percakapanku dengan ibu selalu bermuara pada kata: lupakan. Seandainya melupakan memang semudah yang Ibu ucapkan. Tapi aku merasa dia ada bukan untuk dilupakan. Dia ada untuk membersamai langkahku. Setidaknya aku harap begitu. 
"Bu, mau dengar ceritaku tidak?" 
Ibu yang sedang melipat pakaian kemudian menatapku lama. "Opo tho, nduk?"
Aku tersenyum lebar. Mulai merajuk Ibu, lagi dan lagi. Sampai aku menyerah. 
"Dengar, ceritanya begini... jika ada seorang lelaki baik, oh iya, utamanya dia saleh, Bu. Kepribadiannya juga menyenangkan. Dia datang ke rumah membawa niat baik--"
"Kalau lelaki itu masih orang yang sama seperti yang kemarin kauceritakan, nampaknya dia akan ditolak mentah-mentah oleh ayahmu."
Ibu memotong ceritaku tiba-tiba. Bahkan secara tidak langsung Ibu dengan tegas menyatakan bahwa usahaku akan sia-sia.
"Bu, sekali ini saja, percaya padaku," kataku dengan sungguh-sungguh. Aku memohon dengan wajah memelas. "Percaya bahwa aku bisa menentukan pilihanku sendiri. Ibu hanya perlu mendoakan, aku butuh rida Ibu, supaya Ia pun rida atas pilihanku. Tolong, Bu..."
"Nduk, Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Dengarkan Ibu, kali ini patuhlah pada Ibu, nduk. Semalam Ibu bermimpi tidak enak, lelaki itu lupakan saja. Ini demi kebaikanmu."
Mendengar kau menceritakan mimpi itu kepalaku dibombardir ketakutan-ketakutan. Juga sedikit keraguan. Air mata meleleh tanpa diminta. Aku tiba-tiba takut menentukan pilihan. Aku takut salah memutuskan. Aku takut tergesa-gesa memilih. Aku mendadak tidak berani melakukan apa-apa. Aku menjadi tidak berdaya.
"Mungkin mimpi itu muncul karena Ibu terlalu mengkhawatirkan aku. Padahal aku akan baik-baik saja, Bu. Percayalah," kataku di tengah isak. Aku heran, mengapa masih saja kupertahankan harapan dan keyakinan tentangmu? Sebegitu layakkah kau sehingga aku harus memperjuangkanmu seperti ini?

"Dengar, nduk, " katamu pelan. Suaramu bergetar. Kentara sekali kau sedang menahan tangis yang sebentar lagi luruh. Tiba-tiba aku merasa bersalah karena terlalu bebal. "Kamu ini anak yang baik. Kamu pasti akan mendapat yang terbaik. Ingat, janji Allah itu pasti, nduk. Ibu mohon... ikhlaskan hatimu menerima ketetapan terbaik itu nanti."

Ibu pun harus ikhlas menerima, jika yang terbaik itu pada akhirnya adalah dia. Aku menahan diri untuk menyela. Aku tahu pasti segala ketetapan ada di tangan-Nya. Aku tidak boleh gegabah. Hanya saja... keyakinan yang begitu kuat ini datang dari mana? Sementara sebelumnya aku tidak pernah merasa seyakin ini. Kenapa aku masih harus dihadapkan pada perasaan macam ini jika pada akhirnya aku harus merelakan. Seolah merelakan adalah sebuah keniscayaan.
Bu, aku masih menjadi anak perempuanmu yang patuh. Aku sudah berulang kali mencoba merelakannya. Tapi jangan salahkan aku jika  separuh dari keyakinanku masih bertahan. Sebab separuhnya, sudah kugantungkan tinggi-tinggi pada-Nya.

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<