Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 14 Agustus 2015

Merelakan

:untuk lelaki yang (kelak) kusebut captain. 

Captain, apa kabar? Sedang sibuk ya? Semoga kamu disibukkan dengan sesuatu yang baik dan membuatmu bahagia.
Jangan heran jika aku menulis surat untukmu lagi. (Mungkin) aku sedang rindu, atau gelisah. Entahlah. Aku hanya ingin bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Captain, ketika usiaku 22 tahun 4 bulan 14 hari aku baru menyadari satu hal: aku ada di pintu gerbang orang-orang dewasa. Gelar sarjana suda terpatri di belakang nama. Hari itu penuh euforia. Balon-balon mengudara. Tawa rekah. Tapi, setelah itu aku membawa oleh-oleh yang tak kalah kusut dari baju yang kukenakan seharian. Setelah ini apa?

Orang-orang itu bicara soal menikah. Bahwa perempuan selepas sarjana menunggu apa selain dipinang oleh lelaki baik dan membaikkan?

Sebentar, sudah siapkah aku menemuimu sesegera itu? Sementara aku pun masih ingin memiliki lebih banyak waktu bersama Ibu dan Bapak. Aku sudah terlalu lama meninggalkan mereka. Bagi perempuan, waktu yang bisa membuatnya leluasa berbakti pada Ibu dan Bapak adalah sebelum ia menikah, bukan? Setidaknya untuk saat ini aku ingin mengabdikan diri dulu kepada mereka, sebelum kau membawaku pergi menapaki tangga surga.

Aku pun masih ingin melakukan perjalanan. Mengunjungi tempat-tempat dimana aku bisa memaknai kehidupan. Melanjutkan mimpi (meski) sebagai perempuan. Aku masih ingin menuntaskan egoku...
Dan lagi... aku merasa bersalah padamu. Perempuanmu ini, captain, masih saja jatuh pada perasaannya sendiri. Ia belum bisa menjaga diri. Menjaga hati. Menjaga perasaan. Menjaga cinta untuk engkau saja. Membayangkan bahwa apa yang ia jaga sekarang, harapan dan doa diam-diam itu ternyata tak tertuju untuk engkau... aku menggigil. Membayangkan jika ada harapan yang tertahan dan semesta tak mendukung segala harapan itu mewujud engkau di masa depan... aku gelisah. Jadi lebih baik ia memancangkan harapan yang ada dengan segera. Agar kelak bisa ikhlas menerima siapa pun yang akan datang.

Maka dari itu, kalau boleh meminta, jangan datang dulu. Aku sedang dirundung gelisah, hatiku pesakitan. Sebentar lagi, ia akan diisolasi dari hal-hal yang menyebabkan nyeri. Aku mohon jangan datang dulu... sebulan... dua bulan... tiga bulan... enam bulan. Jangan datang sampai hatiku benar-benar pulih. Dia tahu pasti berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk merelakan. Agar kelak aku bisa menyambutmu dengan senyum paling teduh. Dan hati yang tulus menerima segala ketetapan terbaik-Nya. Ya, kamu, siapa pun kamu.

Captain, setelah ini aku akan belajar merelakan. Mencintai diri sendiri dan orang-orang di sekitarku. Mencintai perjalanan baru yang akan kumulai sendirian. Aku hanya ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Tanpa mengulang lagi kesalahan yang sama. 

Dimana pun kamu, teruslah berjalan. Lakukan apa yang ingin kaulakukan. Aku pun turut senang melihat kau bersinar. Aku akan menunggumu tanpa perlu kau terburu-buru. Bahkan, aku malah meminta waktu agar kau mau menungguku sampai. Menunggu aku benar-benar meluruskan niat, menjadi sebenar-benarnya perempuanmu kelak. 

Jangan mencari aku. Jangan menungguku, jika di persimpangan mana kau melihatku, berjalanlah saja. Kelak, jika kau-aku ditakdirkan saling tuju, langkah kita akan menuju ke tempat yang sama. Meski jalan yang kautempuh harus memutar atau aku yang tersesat sendirian. Jika sudah waktunya sampai, kita akan sampai.

Semoga Tuhan selalu menjagamu.

6 Agustus 2015.




Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<