Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 19 September 2015

Hati-Hati!

"Apa?"
"Lagi duduk."
"Kenapa?"
 "Oh bla bla bla..."

Haha! Aku cuma bisa tertawa, meledek. Wajahnya langsung merah seperti kepiting rebus. Dia baru saja menerima telepon dari seseorang yang akhir-akhir ini diceritakan kepadaku. Sepanjang mereka telponan, aku menahan tawa terus. Sembari merespon tiap ucapannya dengan mimik muka meledek.

Klik. Telepon ditutup.

"Hati-hati!" kataku tanpa ba-bi-bu.
"Iyaaa. Orang cuma temen kok," katanya berkilah.
"Temen.. tapi ngarep. Lagian kok gemeter pas ngangkat telponnya."

Aku tak bisa menahan tawa. Dia langsung merengut karena terus-terusan diejek. 

"Tapi dek, percayalah. Tetehmu ini cuma nggak mau kamu sakit hati."

Adikku cuma manggut-manggut saja. Entah mendengarkan atau tidak. Aku terus saja mewanti-wanti supaya ia lebih hati-hati. Aku jadi sok bijak dan sok berpengalaman. Ew... padahal...

"Dia nelpon kamu sekarang, belum tentu karena suka sama kamu. Pengin tahu kabar kamu atau apalah. Bukan. Siapa tahu dia cuma mau ngabisin bonus nelpon. Haha." 

Dia berdecak sebal.

"Dia sering ngehubungin kamu? belum tentu karena kamu special. Bukan. Bisa jadi dia begitu karena lagi senggang dan diisi dengan chit-chat sama kamu dan temannya yang lain."

"Hmm."

"Dan inget, Dek. Dia udah punya kehidupan baru di sana. Kehidupan di kuliah itu beda. Masa SMA mah nggak ada apa-apanya. Kamu, terlalu cepet kalau kamu mutusin bakal nunggu dia. Semua bisa berubah. Mending fokus kuliah dulu. Capek mikirin gituan mah..."

"Iya, Teteeeh."

"Kan udah janji sama teteh? Mulai jaga jarak ya..."

Adikku cuma mengiyakan saja. Aku sengaja membombardir dia dengan segala macam rasa pahit dari sebuah pengharapan. Toh, berharap sama manusia ujungnya pasti kecewa. Rasanya terlalu dini ketika dia memutuskan untuk menunggu seseorang yang... aku sih sangat menyangsikan dia. Karena perempuan itu mudah untuk setia, sementara lelaki fitrahnya selalu mencari.

Baru kali ini dia bisa sangat terbuka padaku. Sebelumnya, susah sekali mencari tahu soal urusan perasaan-perasaannya. Aku hanya tahu sekilas, tidak sejelas cerita tentang lelaki yang ingin dia tunggu itu. Kalau sudah begini, berarti dia sudah kejatuhan cinta yang serius. Ini bahaya. Pasti akan sulit untuknya berpindah. Meninggalkan. Melupakan. Merelakan. Mungkin sulit... tapi bukan tidak mungkin. Kita sama-sama belajar merelakan yak, Dek. Karena cinta yang benar adalah ketika kamu berani merelakan ia yang kamu cintai... karena Dia.

hope...
Allah, jaga adikku dari sakitnya pengharapan pada makhluk-Mu. Jaga hatinya dari segala rasa yang belum waktunya. Jika pun ia harus jatuh, semoga ia bisa mengambil pelajaran darinya. Dan mengembalikan segala cinta itu pada-Mu saja.

Ruang tamu, 22: 05.

Related Posts:

  • Cerita di Penutupan 59 Saat menulis ini, sedang merindukan adik-adik spatula... Minggu (22/12) penutupan semester 59 PAS ITB. Nggak kerasaaaa! Acara berlangsung meriah. A… Read More
  • Ketika Mas Nadhif (Pura-Pura) Lupa Sepagi tadi aku sudah menunggumu dengan wajah cerah. Hari ini kau tampak sumringah sekali, Mas. Aku suka melihatnya. Matamu yang agak menyipit ketika… Read More
  • Pendidikan itu Bernama Pembiasaan Di rumah sederhana ini tidak terdengar musik selain murattal alqur'an--dibarengi denting piring garpu beradu. Biasanya, lepas salat maghrib, Abi meng… Read More
  • Dua Tahun Lagi Rasanya seperti baru kemarin euforia menjadi mahasiswa baru. Sibuk adaptasi karena peralihan menjadi seorang mahasiswa. Ternyata dua tahun sudah berl… Read More
  • Capek? Aku Juga."Aku capek...," katanya dengan helaan napas berat. "Kenapa?" "Rasanya nggak ada waktu buat diri sendiri. Dan lagi--" kata-katanya menggantung begitu s… Read More

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.