Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Minggu, 23 Agustus 2015

Dialog Bapak

Malam ini, entah kenapa Bapak memulai percakapan dengan topik yang selalu kuhindari. Siapa pun yang memulai, aku pasti berusaha membelokkan arah percakapan. Ketika Bapak yang memulai, aku tidak bisa beranjak. 

"Mulai sekarang, Bapak harus menabung untuk pernikahanmu nanti," kata Bapak tiba-tiba.
"Eh? Itu... kapan juga? Masih lama!"
"Siapa yang tahu. Sudah punya anak gadis seusiamu begini, Bapak memang harus menabung untuk bekal pernikahanmu."

Iya, tapi nggak sekarang. Masih lama, Pak. Bukan berarti aku tak pernah memikirkan soal itu, bukan juga aku ingin berlama-lama sendiri. Sejujurnya, aku pun merasa butuh 'didampingi'. Mungkin sudah waktunya. Sedang ada di masa-masa obrolan soal menikah adalah makanan sehari-hari. Obrolan tentang calonmu siapa, calonku dia dan lain-lain adalah hal yang wajar untuk ditukar, sewajar bertukar kabar. Lama-lama ini membuatku jengah dan menghindari hal-hal ttg nikah dini.

Aku hanya tidak ingin terburu-buru. Menyegerakan tidak berarti harus tergesa-gesa juga kan? Aku ingin menyelesaikan hal-hal yang belum selesai dalam diri. Mempersiapkan dengan sebaik-baik bekal dan selurus-lurusnya niat. Bahwa menikah adalah sesuatu yang sakral. Perjanjian yang kuat. Menggenapkah separuh agama. Ibadah. Bukan karena tersaingi teman atau agar disebut kekinian...

Tapi Bapak gemar sekali bercerita soal pernikahan... Bapak menceritakan tentang temannya yang baru saja menikahkan putri pertamanya. Nasihat-nasihat ia bagikan. Kadang, ada beberapa kisah yang aku harus mengambil pelajaran darinya. Bapak mewanti-wanti, jangan menikah dengan seseorang yang orang tua tidak rida. Jangan melakukan hal itu agar pernikahan jadi berkah. Tahukah Pak, cerita-cerita itu membawa pikiranku bercabang ke mana-mana. Ke padamu. Masa lalu. Masa depan. Keluarga. Tiba-tiba aku takut kejadian beberapa tahun lalu terulang. Takut jadi anak perempuan yang tak patuh. Takut engkau tidak rida dengan seseorang -yang tanpa sadar hatiku sudah kupercayakan kepadanya-.

Aku menghela napas panjang. Aku ingin sekali menceritakan tentang engkau. Mengenalkanmu padanya. Bertanya pendapatnya, apakah engkau yang kupercaya mampu mendapat kepercayaannya juga? Apakah engkau bisa membuat Bapak yakin untuk mempercayakan aku kepadamu. Apakah Bapak rida denganmu? Tetapi keberanianku hanya seujung kuku pun tidak. Lagi pula, siapa aku? Kenapa aku begitu yakin bahwa kau mau jadi seseorang yang kuceritakan kepadanya, sedangkan keyakinanku pun bisa saja salah. 

Aku hanya takut. Takut sekali jika suatu saat Bapak mengenalkan aku pada seseorang yang tidak kuinginkan. Takut aku belum bisa berdamai dengan diri sendiri (dan perasaan-perasaan yang belum selesai). Sementara mengenalkanmu padanya pun masih menjadi ketakutan yang selama ini kututupi. Kau, padamu melekat sesuatu yang aku sendiri harus meyakinkan diri berulang kali. Ada pengorbanan yang harus kutukar jika aku bersamamu.

Meskipun begitu, aku selalu padamu. Entah keyakinan dari mana. Kau masih menjadi seseorang yang sangat ingin kudengar dari bibirmu terucap qabul dari ijab yang bapak ucapkan. Sebuah bukti yang meyakinkan aku bahwa engkau telah menemukan dan berhenti (padaku). Tapi, jika aku meminta kau menjadi yang selalu aku semogakan, aku takut merasakan nyeri (lagi). Dan aku sudah berjanji... tidak akan meminta pada Tuhan supaya bisa menikahi seseorang yang kucintai. Aku akan berdoa supaya aku bisa mencintai seseorang yang menikah denganku.

Mungkinkah kamu dihadirkan hanya untuk mengujiku? Supaya aku bisa belajar hakikat mencintai dan merelakan.

Cirebon, 23 Agustus 2015. 11: 33
Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<