Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Minggu, 06 September 2015

Wejangan Ibu

"Welcome to the real world, beb!" kata seorang teman ketika saling bertukar kabar selepas sidang.
"Yeah, i'm still 22 and being job seeker is make me so desperate. Hiks."

Tapi, itu fase yang harus dilewati bukan sih? Biar kita tahu sensasinya. Pertanyaan-pertanyaan semacam "lulus kapan?" akan berganti dengan "kerja dimana?" kemudian akan berganti lagi menjadi "kapan menikah?" begitu seterusnya. Akan ada pertanyaan-pertanyaan tentang hidup yang perlu kita beri senyum saja. Hoho. Meskipun sebelum ini, saya pun masih memusingkan soal pertanyaan-pertanyaan macam itu. Jadilah saya terlalu menuntut ingin semua berjalan seperti yang diharapkan.

"Bisa kuliah di Bandung aja kamu udah syukur, Nduk," celetuk Ibu ketika saya menekuk muka terus menerus. "Lihat, adik kamu. Mau kuliah saja seperti susah sekali. Rezekinya kamu bagus loh. Semuanya dipermudah. Sekarang masih minta ini-itu? Udah, jangan macem-macem. Sekarang, bersyukur aja. Segini juga udah alhamdulillah."

"Tapi empat bulan ini nganggur mau apa?"
"Nganggur? Bantu Ibu!"
"Iya. Iya. Tapi pingin ada kegiatan lain..."
"Apa?"
"Kursus jahit boleh?"
"Kamu tuh ya... daripada kursus menjahit, mending kursus jadi ibu rumah tangga!"

Seketika hening. Kemudian Ibu memberi wejangan soal manajemen waktu

"Kalau nanti udah ngajar... kalau nanti udah berkeluarga... pagi-pagi jangan lupa bikin sarapan buat anak-anak... bla bla bla."

Ibu seperti sedang bercerita kepada anaknya yang sudah menikah dan punya anak. Bu... i'm still single and happy with it.

Entah kenapa, "menikah" adalah sesuatu yang belum terpikirkan. Sempat terpikirkan sih, ketika lingkungan kampus yang cenderung agamis membombardir soal menikah dini. Tapi tidak sampai membuat saya berhenti pada keputusan: saya akan menikah dini. Tidak. Menikah adalah fase dimana seseorang naik tingkat. Jadi lebih baik menyiapkan diri dulu sembari menikmati masa-masa sendiri.

Ada banyak rencana setelah menyelesaikan studi. Rencana A, rencana B, belum ada "menikah" dalam daftar rencana itu. Ada sih, tapi nomor sekian. Tidak menjadi fokus. Saya ingin menyelesaikan ego dulu. Ingin berdamai dengan diri sendiri dan hal-hal yang belum selesai. Ingin menuntaskan rencana-rencana pribadi, sembari bersiap-siap.

Meskipun akhirnya rencana-rencana yang sudah saya buat harus saya pasrahkan pada-Nya. Kita toh cuma bisa melist rencana-rencana. Biar Allah yang hapus dan ganti dengan rencana terbaik-Nya. Mengeluh? Mungkin iya, di awal. Tapi kemudian saya berpikir, daripada mengeluhkan sesuatu, lebih baik lihat kemungkinan bahagia yang ada. Lebih baik bersyukur.

Saya akan memilih jadi perempuan yang bahagia. Menjalani setiap rencana-Nya dengan kelapangan hati menerima (Bantu Ya Rabb). Jadi perempuan yang tegas mengambil setiap keputusan. Kurangi mengeluh. Terlalu banyak hal yang membahagiakan daripada memusingkan dunia. Ada yang lebih kekal dari sekadar kesenangan dunia. Semesta ini sudah ada yang mengatur. Jangan khawatir, saya hanya perlu percaya dan mempercayakan segala pada-Nya sembari ikhtiar yang maksimal. 
Kalau mau ngeluh, lihat sekitar. Masih banyak kondisi tidak aman di luar sana. Jauuuh lebih sulit dibanding kamu yang hanya dihadapkan dengan hal-hal macam pekerjaan-jodoh-dan-kegalauan-sementara.
 *ngerandom, di kamar tengah, 11: 55.

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<