Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 16 Oktober 2015

It's Not Just About Marriage


Saya belum menikah dan tidak pantas beropini soal ini. Namun, saya adalah penyimak, pendengar, dan pengamat apapun--termasuk pernikahan. Tanpa sengaja, saya menjadi tahu beragam kisah rumah tangga: yang manis dan harmonis, sabar yang berkepanjangan, sampai menangis diam-diam. Di sini saya mulai menghela napas panjang.

Sependek pemikiran saya dulu, menikah dapat menyelesaikan masalah. Haha. Sederhananya, setelah menikah kamu akan punya teman diskusi, pelindung, tempat kepulangan dari riuh euforia. Partner berbagi, segalanya. Pundak yang berat mungkin bisa terasa lebih ringan. Bisa membangun mimpi bersama dan bersinergi, berdua. Saling mengingatkan, menguatkan, membaikkan, dan memelesat bersama. Ibarat kata, suami/istri adalah teman seperjalanan sampai nanti Dia meminta salah satu di antara kita berhenti, menghadap-Nya lebih dulu. Bagi perempuan, menikah adalah menemukan kapten perjalanan yang akan membawa serta kamu dan anak-anak menuju surga. Oke. Maaf jika saya terlalu naif ini...


Realitanya, menyatukan dua kepala itu tidak mudah. Pasti ada gesekan-gesekan yang akan memunculkan emosi masing-masing. Entah dari hal-hal sederhana hingga masalah kompleks seperti... pengkhianatan. Ouch.

Setiap rumah tangga punya masalahnya sendiri-sendiri. Ada yang diuji dengan penerimaan istri terhadap sikap/cara suami memimpin. Yang menyakitkan adalah ketika istri hanya bisa memendam. Tidak mengomunikasikan apa yang sebenarnya terjadi dan perihal batinnya. Suami selalu benar. Istri tidak boleh menyanggah. Lama-lama suami akan merasa semuanya baik-baik saja dan bertindak semaunya. Kemudian, istri menderita. Rumah tangga bisa pecah kapan saja. Meskipun, jika istri bisa sabar dan ikhlas dengan penerimaan yang panjang... ia akan beroleh pahala. Tapi segala sesuatu perlu dikomunikasikan secara baik-baik kan? Bahwa suami/istri boleh menyampaikan pendapat/opsi, sama-sama evaluasi diri. Agar tidak ada yang merasa terzalimi dengan sikap masing-masing.

Ada yang diuji dengan keberterimaan keluarga. Menikah bukan perkara menyatukan dua kepala, tetapi dua keluarga besar. Penerimaan-penerimaan setiap keluarga mungkin berbeda. Tentang anak kesayangannya yang kemudian mendapat perlakuan baik/tidak oleh suami/istri, hubungan menantu-mertua, penerimaan saudara-saudara, dan masih banyak lagi. Hmm, mungkin sebagai orang baru harus bisa menyesuaikan diri dengan keluarga, mengambil hati mereka. Menempatkan diri dengan baik. Menunjukkan bahwa memang kamulah yang terpilih untuk mendampinginya--dan akan baik-baik saja bersamanya.

Ada yang diuji dengan kecintaannya terhadap pasangan, berupa ujian penyelewengan sampai kematian. Rasa cinta yang berlebihan itu bisa menjadi bumerang. Dia yang sangat dicintai bisa jadi orang yang paling dibenci. Macam-macam sebabnya, mulai dari ekspektasi berlebihan yang berujung kekecewaan, pengkhianatan yang berujung perceraian... dan poligami. Ouch.

Wahai diri, jangan berekspektasi ya. Nanti kecewa. Tanpa sadar rasa cinta akan terkikis pelan-pelan. Dan soal pengkhianatan (bahasanya serem ye? kita ganti jadi penyelewengan sajalah), penyelewengan terjadi... umumnya sih pada suami yang punya masa puber kedua. Entah kenapa, cerita perempuan lain dalam pernikahan itu dekat sekali di telinga saya. Jika konflik membesar, efeknya bisa pada anak-anak--kondisi psikologisnya. Ah sudahlah, ini terlalu menyakitkan.

Perihal poligami... saya tidak menampik kebolehan suami dalam berpoligami. Iya, suami kita bukan milik kita, ia milik Allah. Dan bisa saja sewaktu-waktu Allah takdirkan suami harus berpoligami, tapi Allah, Engkau tahu batas penerimaanku kan? Semoga kebolehan itu tidak berlaku bagi suamiku kelak. Egois, saya ingin menjadi satu-satunya. Namun, saya rida jadi perempuan kedua yang dicintai, setelah ibunya.

Terlalu mencintai pasangan di atas kecintaan pada-Nya, bisa membuat Dia cemburu--bahkan murka. Saya mengamini bahwa terlalu menghambakan cinta kepada pasangan bisa membuat Allah timpakan ujian, apapun. Entah... pengkhianatan atau kematian atau hal lain. Semata-mata untuk membuat kita kembali pada-Nya. Menjadikan-Nya nomor satu di atas segala sesuatu.

Tidak bisa ada dua cinta dalam satu hati. Apalagi ketika motivasi menikah karena ibadah. Allah pasti akan menguji niat untuk tetap menjadikan pernikahan itu dalam motivasi untuk beribadah kepada-Nya. Untuk tetap menjadikan Allah prioritas diatas semua makhluk. Ketika kamu sudah sampai di penghujung sabar dan berpikir untuk menyerah, ingat kembali niat di awal, semoga bisa kembali memperbaharui komitmen untuk bertahan dalam pernikahan -- Historina Safitri.
Yah... menikah itu kompleks. Itulah mengapa bagi saya, menikah adalah babak baru dengan jenjang yang lebih tinggi. Salut dengan orang-orang yang sudah berani melangkah bersama orang yang dirasa tepat. Saya percaya dan mengamini bahwa menikah akan membuka pintu-pintu rezeki dan kebaikan lainnya--seperti yang biasa disampaikan trainer menikah muda. Namun, berkaca dari realita yang pernah ada bisa membuat kita mengambil pelajaran darinya. 
Semoga ketika saatnya nanti... mampu menyelesaikan setiap masalah yang ada, bersama. Semoga bisa lulus ujian bersama dan dimampukan untuk kembali memperbaharui komitmen untuk bertahan dalam pernikahan. Semoga dipandaikan membaca makna dari setiap peristiwa. Semoga dapat menjadi dan mendapatkan cinta yang tak menghamba... dan yang marahnya tak sampai menghina. Semoga kelak, kita bisa membangun keluarga yang bisa menginspirasi anak-anak kita ya. Itu saja.

Semoga kamu tetap bisa membuat bingkai yang baik pada kata pernikahan. Tidak lantas menjadi takut... atau trauma. Sekian pemaparan dari saya yang sok tahu ini. Maafkan bila ada salah kata. Jangan terlalu dipercaya sebab saya pun belum mengalami pernikahan itu sendiri. Jadi... sumber tulisan ini bisa dikatakan tidak valid. Hanya berangkat dari keresahan saya yang terlalu banyak mikir saja. Hoho.

gambar dari sini

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<