Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Kamis, 12 November 2015

Refleksi Hari Ayah



Orang bilang, cinta sejati seorang anak perempuan adalah ayahnya. Lelaki pertama yang membuat anak perempuan jatuh cinta adalah ayahnya. Kalau begitu... aku ingin sekali jatuh cinta berkali-kali padanya. Meski bukan yang pertama. Namun, aku akan berbahagia karena bisa merasakan hal yang sama seperti anak perempuan pada umumnya. Nyatanya, posisi yang seharusnya terisi olehmu, secara tak sengaja diambil alih oleh kakak. Ya, aku lebih merasa dicintai olehnya. Beri tahu aku segera bahwa pemikiranku ini memang sangat salah.
Cinta yang diam kadang menggema lebih kuat dalam dada. Ayah adalah orang pertama yang mengajarkan kita bahwa cinta tak memerlukan penjelasan apa-apa (Fahd Pahdepie).
Ya, beliau pemilik cinta yang diam itu. Yang sulit diungkapkan lewat kata-kata, sehingga yang keluar hanyalah segenggam kekhawatiran yang tampak di wajahnya. Yang tidak banyak bicara, tetapi diam-diam berusaha mendengarkan dari banyak telinga. Yang kuakrabi hanya sebatas aturan dan larangannya yang mengungkung. Yang selalu aku salah artikan setiap maksud baiknya. Maafkan aku, Ayah.


Ayah memang seorang yang keras dan otoriter. Untuk meminta izinnya, aku harus memberanikan diri berhari-hari menyusun kata-kata dan alasan yang bisa diterima. Bahkan, waktu yang kupersiapkan lebih banyak untuk berdialog dengan diri sendiri, semacam simulasi sebelum mengatakan langsung. Iya, ayah memang bukan orang lain. Namun entah, rasa seganku masih setinggi ini padanya. Itulah kenapa aku merasa tidak dekat dengannya. Aku selalu bersikap seadanya, selayaknya anak perempuan yang patuh. Hanya mengangguk "iya", tanpa tapi. Tanpa diskusi. Tanpa berpanjang alasan. Maka dari itu, jarak yang tercipta seolah semakin nyata.

"Ayah, aku ingin ikut program mengajar ke daerah-daerah terpencil ya?" tanyaku suatu ketika. Tentu saja dengan persiapan keberanian yang panjang. Dan persiapan hati kalau-kalau beliau langsung berkata "tidak".

"Mau ngapain? Di sana itu sengsara. Akses transportasinya juga pasti susah. Pengalaman ayah selama mengajar di daerah itu nggak betah. Untung masih bisa pindah."

Aku menggigit bibir. Menghela napas panjang, sekali lagi. "Mau cari pengalamannya, mumpung belum terikat sama apapun. Daripada kelamaan di sini tapi diam di tempat. Nggak kerasan," jawabku akhirnya, memberanikan diri.

"Pengalaman mengajar itu bisa didapat dimana saja. Nggak harus ke daerah 3t. Jangan bikin ayah khawatir! Kamu perempuan, jangan macam-macam!"

Deg. Jantungku sudah tidak karuan. Dada terasa sesak. Ada yang ingin dilepas di dalam sana. Setiap berbicara padanya selalu saja menyisakan perasaan macam ini. Namun kali ini, aku tidak mau menyerah. Dorongan keinginan yang begitu kuat akhirnya membuat aku mau berbicara panjang padanya. Mengungkapkan apa-apa yang selama ini selalu kutahan. Meyakinkan beliau bahwa aku bisa dipercaya.

"Ya udah. Kalau itu maumu. Ayah cuma khawatir," kata ayah dengan suara melemas. Samar, kulihat matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba aku merasa menjadi anak yang banyak maunya. "Kalau nanti lolos, jaga diri baik-baik," kata ayah lagi.
Aku nyaris tidak percaya. Mendengar persetujuannya, aku seperti ingin meledak--saking senangnya. Pasalnya, ini permintaan izin tersulit dan yang paling tidak mungkin untuk disetujui. Aku hapal betul bahwa ayah adalah orang yang paling khawatir di dunia--keluarga. Ternyata semuanya menjadi mungkin asalkan aku bisa mengomunikasikan maksudku padanya. Selama ini, aku selalu menarik diri dan tidak mau memperpanjang percakapan. Maka jangan heran jika jarak itu semakin tampak di depan mata. Maafkan aku, Ayah.

Pada akhirnya aku menyadari bahwa sikap keras ayah muncul karena beliau terlalu khawatir. "Ayah itu terlalu sayang sama anak-anaknya. Jadi nggak bisa jauh, takut nggak bisa mantau terus," kata Ibu ketika aku ceritakan bahwa aku sudah mendapatkan izinnya.

Selama ini, aku menyadari bahwa pola komunikasi kami memang tidak sehat. Aku tidak pernah menyengaja bercerita apapun padanya. Entah bermula dari mana. Ayah yang terlalu keras dan membuatku segan, atau pandangan buruk tentangnya yang membuatku jengah dan tak mau memperpanjang percakapan.

Sekarang, setiap hari aku berusaha menjadi anak perempuan yang patuh. Mau mendengarkan dan berbicara lebih banyak padanya. Mau menelisik maksud ayah sebenarnya. Mau memulai jatuh cinta kepadanya. Sampai aku mendapati diriku khawatir dengan segala kekhawatirannya. Entahlah ini cinta atau bukan... tapi akhir-akhir ini mengingatnya selalu berhasil membuat air mataku tak terbendung. Maafkan aku, Ayah. 

Ingatan masa kecil bersamanya selalu berkelebat tanpa diminta. Aku ingat, dulu, aku yang selalu mengekor ke mana pun ayah pergi. Aku gemar sekali merajuk minta ini-itu. Aku yang gemar menggelayut manja. Aku yang menyukai setiap perjalanan bersamanya. Kemudian ketika mendewasa, kenapa jarak itu membentang tanpa diminta? Maafkan aku, Ayah. Ini aku, anak perempuanmu yang akan berusaha untuk tetap patuh. Dan mengisi hari tuamu dengan penerimaan-penerima penuh cinta.
Nyatanya cinta memang tak butuh banyak kata. Kita hanya perlu memahami setiap pembuktian yang ada. Ayah adalah orang pertama yang berhasil menyembunyikan cinta, tapi tetap menggema di dada.


0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<