Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Jumat, 26 Februari 2016

Kisah #2: Janji

 Seperti yang diceritakan Arunika kepadaku.

"Kamu nggak akan ingkar janji kan?" katamu tiba-tiba, itu kali pertama kita bertemu lagi. Kamu memberondongku dengan pertanyaan dan pernyataan akan janji. Janji yang mana?

"Kamu pernah bilang bakal pindah. Tapi aku masih menemukan kamu di sini," jawabmu tanpa senyum sedikit pun seperti menunjukkan kekecewaanmu atas sikapku sendiri.

Oh itu... "Beranjak. Bukan pindah."

"Apa bedanya?"

"Beranjak itu upaya aku untuk bisa pindah. Jadi aku harus menguatkan diriku dulu, untuk benar-benar pindah."

"Dan sekarang kamu masih di sini. Berarti kamu belum beranjak. Payah!"

Aku tertawa. Entah menertawakan diriku sendiri atau kebenaran yang kamu lontarkan. Kamu masih menjadi orang yang paling mengerti aku. Tapi, aku perlu mengoreksinya sedikit, dear.

"Aku sudah beranjak. Meski hanya beberapa inchi pun, tetap disebut beranjak kan? Itu sudah cukup untuk dikatakan aku menunaikan janjiku."


"Tetap saja payah!"

"Semuanya butuh proses, Ka. Aku tidak bisa melulu memaksakan diriku untuk beranjak, pindah, pergi, atau apapun itu. Semua akan sia-sia kalau aku belum benar-benar merelakan."

"Maka dari itu, kamu harus melepaskannya!"

"Aku sudah melepaskannya. Tapi untuk merelakannya, aku butuh penerimaan diri dan waktu yang panjang--"

"Meski untuk cerita yang pendek?"

Aku hanya bisa menghela napas panjang. "Ini bukan soal ukuran waktu"

"Lalu apa?"

"Entahlah."

"Pergilah."

Kamu masih bersikukuh memaksaku pergi meninggalkannya. Meski kamu pun tahu, aku sudah berulang kali mencoba.

"Kamu harus tahu. Aku sudah pernah memaksa diriku untuk beranjak. Yang kudapat hanyalah ingatan yang terus melekat. Sebanyak kamu memaksa diri untuk lupa, sebanyak itulah kamu akan mengingatnya. Sekarang, aku hanya ingin membiarkannya berlalu."

"Dan... membiarkan dirimu kembali?"

"Aku akan membiarkannya berlalu. Hilang oleh waktu. Biarkan saja mengalir, toh waktu adalah penyembuh segala sesuatu kan? Kamu tidak usah cemas."

"Jadi, kamu tidak akan melupakan janjimu?"

"Janji yang mana lagi?"

"Jika ada yang menawarkan janji yang bisa membawamu keluar dari tempat ini, kamu bersedia menerimanya?" kamu malah balik bertanya. Aku benar-benar tidak mengerti. Atau memilih untuk tidak mengerti.

"Ya." Aku tidak punya pilihan. "Jika dia berjanji di atas genggaman tangan orang yang paling bertanggungjawab atas diriku."

Kau tersenyum puas. Memenangkan percakapan rumit yang berkelebat dalam pikiran. Ada kelapangan hati menerima, meski masih ada kecemasan yang melulu membawaku kembali pada bayang yang sama. Aku masih tidak mengerti. Apa yang membuat seseorang merasa dekat, meski jarak telah bersekongkol dengan waktu, memisahkan--dan seharusnya mampu membuatnya lenyap tak bersisa kan?

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<