Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 13 Februari 2016

Resensi Buku: Jodoh



Judul Buku   : Jodoh
Pengarang     : Fahd Pahdepie
Tebal Buku    : x + 246 halaman
Penerbit         : Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : 2015

Apa itu jodoh? Barangkali itulah pertanyaan yang sering dilontarkan orang. Kemudian, orang-orang yang sedang dalam pengharapan akan melanjutkan pertanyaannya. Apakah kita berjodoh? Dari mana kita bisa yakin bahwa seseorang itu adalah jodoh kita? Dan pertanyaan-pertanyaan bernada serupa akan terus memenuhi pikiran. Tapi, setiap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita, tak melulu hadir sepaket dalam satu waktu kan?

Semua ada waktunya. Jawaban-jawaban dari sederet pertanyaan kita akan terjawab pada waktunya. Kita hanya perlu menunggu. Bukan berarti berdiam diri, tapi bergerak maju menuju waktu yang membawa kita pada sebuah jawaban. Ya, seperti itulah jodoh. Ia akan datang pada waktunya, di saat terbaik bersama orang yang tepat.

Siapa dia? Apakah dia yang memenuhi relung terdalam hati kita? Apakah dia yang membuat kita tertawan dan enggan beranjak? Apakah dia yang telah lama hadir menemani hari-hari kita? Atau dia yang tak pernah kita hiraukan kehadirannya? Atau dia yang begitu saja datang dan mengajak hidup dan tumbuh bersama? 

Membaca buku ini, saya diajak menyelami kisah perjalanan Fahd menemukan jodohnya--tentu saja difiksikan--. Berawal dari cinta masa kecil yang terawat sampai dewasa. Pada bagian awal, saya dibuat senyum-senyum sendiri membayangkan tingkah konyol Sena yang mengundang tawa. Tokoh Sena digambarkan sebagai lelaki setia yang teguh pada pilihannya untuk mencintai, tapi tetap menjaga makna cinta itu sendiri. Iya, sebisa mungkin ia menghadirkan cinta yang terjaga. Cinta yang menjaga. Terdapat paham-paham islam yang disisipkan tanpa kesan kaku dan menggurui.

Dan, yang membuat saya takjub adalah kesetiaan Sena dalam mencintai Keara. Ia tetap memilih mencintai Keara, meskipun sebenarnya ia memiliki kesempatan untuk memilih yang lain. Begitu pun dengan Keara, pada akhirnya, ia tetap menunggu Sena meskipun telah lama ditinggalkan olehnya.
Buku ini memang bercerita tentang cinta, tapi pembaca akan menemukan perenungan-perenungan khas penulis--yang saya suka darinya. Ada bagian yang membuat kita merenung bahwa semakin kita mencari sosok yang sempurna, yang akan kita temui pada akirnya hanya kematian.

Pada bagian akhir, saya diajak merenungi makna jodoh itu sendiri. Penulis seperti ingin membawa kita pada pemahaman bahwa jodoh tak selalu berujung pada kebersamaan. Sebagian orang bilang jodoh itu pilihan, bagaimana kita berusaha menjodohinya. Tapi, penulis melemparkan pemahaman bahwa kita tetap disebut berjodoh meskipun kita tak bersama.

"Kita berjodoh karena bagaimanapun Tuhan telah mengizinkan kita bertemu, menuliskan kisah kita berdua, dan berbahagia di salah satu persimpangan kehidupan yang pernah kita alami. Kita berjodoh karena takdir telah mempertemukan kita di salah satu persimpangan waktu, membuat kita jadi lebih dewasa, membuat hidup kita lebih bermakna." (hal. 244)

Kutipan tersebut menyeret ingatanku padamu--seseorang yang pernah sangat ingin aku jadikan tempat pulang. Seperti yang Fahd bilang, bagaimana pun, aku akan menganggap kita sudah berjodoh untuk bertemu, meski mungkin tak bisa bersatu. Kini tak ada lagi keinginan untuk berharap. Entah pada waktu yang pernah kuangankan atau pada pertemuan apa saja. Aku sudah melepaskanmu pada-Nya. Aku sudah merelakanmu pada siapa pun yang kelak mendampingimu. Aku sudah merelakan diriku pada siapa pun yang kelak membersamaiku. 

Setidaknya, kita sudah berjodoh untuk bertemu. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Jika kita tak berjodoh... masing-masing kita tentu tak pernah melewati jalan yang sama. Dan kita tak pernah bertemu, tak pernah belajar memaknai setiap pertemuan.

Ya, begitulah. Selamat membaca dan merenungi makna jodoh!


*gambar dari fahdpahdepie.com

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<