Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Senin, 08 Februari 2016

Kisah #1: Mengunjungi Kotamu

Seperti yang ceritakan Gendis kepadaku...

Mengunjungi kotamu, tiba-tiba saja fragmen kenangan memenuhi ingatanku pelan-pelan. Mengembalikan masa lalu yang lama kupendam dan telah jauh kutinggalkan. Kau, lelaki sabar yang menyetia perbincangan-perbincangan kita. Meski kau paham benar bahwa aku tak pernah begitu mengkhidmati percakapan.

Aku masih ingat bagaimana kau berusaha jauh meninggalkan--tanpa menoleh lagi ke belakang. Namun, lagi-lagi kau gagal karena pertemuan-pertemuan kita yang tak disengaja. Mungkin semesta senang mencandaimu karena kau termasuk orang yang menyenangkan. Sayangnya aku tak pernah merasa cukup dengan itu. 

Bertahun-tahun kau bertahan menunggu. Selama itu pula kau berjanji pada diri sendiri, akan memperjuangkan aku sebagai satu-satunya yang kau tunggu. Meski kau tahu, aku tak pernah meminta, bahkan menanggapi pun tidak. Namun kau tetap bersikukuh pada pendirianmu: mencintai diam-diam. Walaupun kau tak pernah bilang, sikapmu mengatakan dengan lantang bahwa kau memiliki cinta yang begitu besar.

Seharusnya aku menjadi perempuan yang bahagia, menyambut pengharapanmu dengan anggukan atau sekadar senyum kecil. Namun aku malah menghempaskan harapanmu. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Malam itu, aku memintamu berhenti, setelah kau membuka setiap kejujuran yang selama itu kau sembunyikan.

Harus kuakui, kau melontarkan ketulusan. Matamu mengungkapkan kejujuran. Membayangkan kau tahu bahwa aku tak pernah berada di tempat yang sama, aku merasa nyeri. Tapi, aku tak bisa membiarkanmu larut dalam belenggu rasa yang mengungkungmu. Maka aku memintamu beranjak, berkali-berkali, meski kau tetap menjadi geming yang sama.  

"Dan, aku bukan perempuan yang pantas kamu jadikan satu-satunya pilihan. Kamu pantas mendapatkan perempuan yang memilihmu sebagai pilihannya."
  
Kau tersenyum saja. Senyum yang tenang, tapi tampak kekecewaan yang mendalam. Kau masih saja dengan sabar berujar akan menunggu. Tiba-tiba kau menjadi lelaki berkepala batu. Kau bilang akan menunggu sampai aku merasa lelah mencari. Aku hanya bisa tersenyum saja, senyum yang dipaksakan.

"Aku akan menunggu sampai kamu menjadikan aku pilihan terakhir," katamu dengan tegas.

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Dengan putus asa, aku memintamu untuk beranjak meninggalkan. Meski aku tak bisa memberikan alasan yang benar.

"Pergilah saja. Aku mohon."

"Keputusanku cuma satu: akan menunggu sampai kamu menjadikan aku pilihan terakhir," katamu sekali lagi. Kemudian kau pamit untuk pergi. Percakapan malam itu adalah kenang-kenangan yang terakhir. Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu. Tapi kau membuatku cukup tenang dengan keputusanmu. Setidaknya, kau akhirnya berani untuk meninggalkan.

Kau pergi, meninggalkan perasaan yang sulit terdefinisi. Perkataanmu yang terakhir membuatku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Kau memutuskan untuk pergi dengan sebuah janji yang tak bisa kumengerti. Tapi aku percaya, di tengah jalan, kau akan melupakan perkataanmu.

Ada kelegaan, meski lebih banyak kekhawatiran. Apa aku telah melakukan hal yang benar? Tapi aku punya alasan kuat untuk memintamu pergi.

Entah kenapa, berbulan-bulan setelah itu, kerap kali aku mencarimu di antara malam-malam panjang. Bertanya-tanya pada Tuhan, apa aku akan mendapatkan ketulusan seperti yang kau tinggalkan di sepanjang jalan? Apa aku akan mendapat karma karena menyia-nyiakan orang sebaik engkau?


0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<