Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 08 Februari 2014

Yang Menegangkan di Gua Sunyaragi

Bertemu teman lama adalah agenda wajib waktu liburan. Kami bisa bercerita banyak hal dan membagi pengalaman masing-masing. Rabu (29/01) ada agenda bertemu teman SMP. Rencananya kami mau wisata sejarah di guasunyaragi.

Karena nggak ada yang bawa motor, akhirnya kami memutuskan naik kendaraan umum. Empat perempuan dewasa awal, ehm, berniat menjadikan gua sunyaragi sebagai tempat temu kangen. Agak aneh ya, hehe—mengingat banyak orang ketemuan pasti di mal, tempat makan, atau di mana pun, tempat yang pas. Kami malah ke gua: wisata sejarah. Mulia sekali tujuannya.

Singkat cerita, kami sampai di guasunyaragi. Sebelum masuk, kami beli tiket terlebih dahulu—tanpa meminta guide. Karena saya kira, teman saya sudah paham benar sejarah gua sunyaragi. Pertama kali masuk, kami disajikan dengan pemandangan kolam berukuran sedang dengan air agak kotor dan berlumut—menandakan bahwa tempat ini tidak terawat dengan baik. Katanya, gua sunyaragi juga disebut taman air sunyaragi. Mungkin karena ada kolam semacam itu ya.


Berjalan sedikit, kami disuguhi susunan bebatuan mirip batu karang membentuk candi-candi kecil. Ada beberapa gua di sana: gua pawon, gua lawa, gua peteng, dan lainnya. Saya iseng bertanya tentang sejarah dan tujuan pembuatan gua tersebut, teman malah bilang nggak tahu. Hening. Jadi apa yang bisa kami dapat selain lihat-lihat bangunan itu?

“Kita foto-foto saja yuk,” katanya. Sedikit kecewa sih, karena sejak awal yang paling minat wisata sejarah, ya, saya. Tapi berhubung mereka sudah beraksi, saya ikut juga. Hihi. Awalnya agak seram dengan suasana mistis di kawasan gua sunyaragi, asal foto emang boleh?

Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan, berkeliling, melihat-lihat bangunan yang umurnya kian menua itu. Saya ingin sekali masuk ke dalam gua, melihat-lihat keadaan di dalam, tapi karena tidak didampingi guide, saya takut, nggak ada yang mengawasi kalau ada apa-apa. Ketika sedang melihat-lihat, kami didatangi mas-mas bagian tiket, ternyata mas itu memberi sisa uang kembalian. Lalu dia bertanya, “tadi ada yang megang batu di depan pintu masuk gua peteng nggak?”

Seketika suasana menegang. Jantung tiba-tiba dagdigdug nggak karuan. Ada apa? Pintu masuk sebelah mana? Emang ada batu ya di depannya? Tanpa sadar kami terus menceracau. Temanku langsung menyodorkan foto di depan gua peteng. Mas itu menunjukkan batu yang dimaksud.
“Batu itu, patung perawan sunti,” ucapnya pelan. Kami semakin tak paham. “Perawan sunti perempuan gadis yang tidak menikah sampai tua, sampai meninggal. Jadi kalau ada yang megang batu itu, barangkali nggak menikah juga, ya, kembali ke sini, buat upacara di sini,” jelasnya, membuat suasana semakin menegang. Kami langsung berpandangan. Untuknya nggak ada yang megang batu itu, teman saya hampir. Dia hanya berfoto di depan gua peteng, tanpa memegang batu itu. Fiuh.

Saya lantas bertanya, adakah larangan semacam itu lagi? Mas itu menjawab dengan ragu. Katanya ada. Tapi ia tidak mau memberi tahu karena khawatir kami menjadi takut. Merasa belum puas, saya bertanya lagi mengenai sejarah pembuatan gua sunyaragi, Mas itu menjawab bahwa dulu gua sunyaragi dijadikan tempat meditasi para sultan. Kalau ingin tahu sejarahnya dengan jelas harus menggunakan guide, katanya. Iya, salah kami di awal -__-

Setelah kejadian itu, kami tidak menikmati perjalanan. Ingin cepat pulang—atau setidaknya cepat meninggalkan kawasan itu. Banyak yang dikhawatirkan. Akhirnya kami pulang dengan menyisakan tanda tanya besar.



2 komentar:

  1. wah, abis dari gua sunyaragi ya..
    mbak ulvia orang cirebon kah? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. yep, orang Cirebon yang baru pulang merantau dr Bandung hehe

      Hapus

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<