Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 20 September 2014

Nduk, Ibu Punya Cerita

"Nduk, Ibu ingin cerita," katamu lembut. Wajahmu cerah sekali, tersenyum dengan kelopak mata setengah terttutup.

"Apa, Bu?" kataku santai. Ingin segera mendengarkan.

"Tapi kamu harus janji mau mendengarkan sampai selesai."

"Iya," jawabku pendek. Sudah tidak sabaran ingin segera mendengarkan.

"Ibu punya anak, perempuan, dia sekarang beranjak dewasa. Ini tahun terakhir kuliahnya. Dia pernah menceritakan tentang seorang lelaki--sekali--pada Ibu. Tapi Ibu tidak pernah setuju. Setelahnya, ia tidak pernah menceritakan apa-apa lagi."

"Terakhir kali, Ibu menyuruhnya menjauhi lelaki itu. Malam itu, dia menangis, Nduk. Dan Ibu tidak pernah mau lagi membahas lelaki itu." 


Ucapan Ibu kemudian menggantung. Helaan napas panjang mengisi kekosongan jeda. 

"Kau tahu? Ibu hanya ingin yang terbaik untuknya. Tiap kali Ibu ingin cerita, apa yang terjadi di sini, siapa saja yang banyak bertanya tentangnya, dia segan untuk mendengar. Dia dengar sih, tapi tidak siap menerima."

"Seperti yang Bapak bilang, ia tidak perlu khawatir soal lelaki. Sekarang saja sudah banyak lelaki yang bertanya tentangnya. Tapi ia selalu saja menjawab, 'aku masih harus menyelesaikan kuliah, Bu'."

"Padahal, ada yang bersedia menunggunya, memberikan janji kehidupan yang baik untuknya. Lelaki itu sudah mapan, dari keluarga baik-baik, dan sifatnya pun baik. Tipe lelaki yang tidak pernah keluyuran. Mau cari apa lagi tho, Nduk? Ibu sudah berkali-kali menanyakan padanya. Tapi kau tahu, anak Ibu itu menjawab apa?"

Aku menggeleng sekenanya.

"Yang penting itu bukan soal mapan tho, Bu. Tapi agamanya. Aku udah berulang kali bilang sama Ibu, kan? Bagaimana gambaran keluarga yang aku inginkan. Padahal soal agama itu yang penting punya dasarnya saja cukup, kan? Sambil berjalan, nanti saling mengimbangi--."

"Tapi aku butuh lelaki yang bisa membimbingku, Bu. Yang bisa menjadikan aku lebih baik lagi. Yang mau tumbuh bersamaku. Nanti, kita bersama saling menguatkan, bertumbuh bersama. Yang baik untukku, keluargaku dan agamaku. Tolak ukurnya bukan cuma materi, Bu. Tapi kebahagiaan dunia-akhirat."

"Nah kan, anak Ibu itu sudah mengambil alih obrolan saja."

11:19

-c-

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<