Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Senin, 04 Mei 2015

Semacam Surat Terbuka (2)

:untuk lelaki yang (kelak) kusebut captain

Sekali lagi, aku hanya perempuan biasa, captain. Aku perempuan yang tak banyak tahu. Aku bukan perempuan cerdas yang bisa mengimbangimu diskusi banyak hal; tentang isu-isu agama, kemanusiaan, ekonomi, apalagi politik. Aku hanya perempuan dengan serba keterbatasan. Dengan keterbatasan ilmu, aku akan tetap mendengarkanmu. Mungkin aku akan lebih sering bertanya kemudian memberikan pendapat dan sanggahan seadanya. Jika kau dirundung masalah dan gelisah karena bisnis dan soal pekerjaan lainnya, aku hanya bisa memberimu ketenangan, penguatan dan pertimbangan dari nalar seorang perempuan. Semua keputusan ada di tanganmu, kau yang lebih tahu solusinya, captain.


Sampai di sini... kau sudah bisa menyimpulkan kan? Aku hanya perempuan dengan serba keterbatasan. Jika kau mengetahui ini lebih dulu, apakah kau akan tetap memilihku?

Captain, ketika kau sudah menemukan dan memilihku, aku ingin sekali bertanya. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemantapan hati untuk memilih? Padahal aku adalah perempuan yang penuh keraguan. Aku tidak pernah mau dan bisa meyakinkanmu untuk memilihku. Bukan karena aku tidak yakin denganmu—sebab aku tidak butuh diyakinkan, kau cukup meyakinkan orangtuaku saja—aku hanya ragu pada diriku sendiri. Jika aku benar-benar yakin memilihmu dan meyakinkan kau untuk memilihku, apakah aku tidak mendahului takdir? Apakah aku tidak memaksakan kehendakku pada-Nya? Padahal, mungkin yang aku pilih adalah bukan pilihan terbaik dari-Nya. Itulah mengapa aku memutuskan untuk berdiam diri. Aku memutuskan tidak memilih siapa-siapa. Aku hanya ingin dipilih.

Aku mungkin hanya jadi salah satu pilihan di antara sederet nama perempuan yang kaupertimbangkan, atau bahkan tidak sama sekali. Aku tidak akan melakukan apa-apa untuk membuatmu memilihku. Tidak akan pernah. Biar saja orang bilang, aku tidak memperjuangkanmu. Biarlah. Sebab aku hanya akan memperjuangkan orang yang kelak memperjuangkanku saja. Biar Allah saja yang memantapkan hatimu untuk memilih. Kelak, aku akan bertanya padamu: bagaimana bisa kau memantapkan hati untuk memilih sementara aku tidak melakukan apapun untuk meyakinkanmu?

Captain, ada begitu banyak kekhawatiranku tentang esok. Kelak, bisakah kau menerima aku hari ini dan masalaluku? Sebab aku hari ini bukan berarti sama dengan aku tempo dulu. Aku pun melewati beragam cerita perjalanan. Aku takut kau menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada masa lalu dan esok. Jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi padaku. Aku yang kaulihat sekarang adalah aku yang bisa terus berubah. Kelak, kau mungkin akan mendapati aku berbeda dari yang kaukenal hari ini. Kau akan melihat ada begitu banyak celah kekuranganku. Kau akan tahu bahwa aku (mungkin) tidak sebaik yang kau sangka sebelumnya. Bukankah semakin kita mengenal seseorang, kita akan tahu kekurangan-kekurangannya? Aku hanya perempuan sederhana yang dimungkinkan melakukan kesalahan. Masihkah kau mau mendampingiku? Maukah kau mengingatkanku dengan lembut?

Captain, kelak, aku tidak bisa menyembunyikan apapun darimu. Kau akan tahu bagaimana sesungguhnya aku. Bagaimana pun aku, maukah kau tetap tumbuh, memelesat, dan menua bersamaku? Kau bisa membawaku ke mana saja; ke gunung, pantai, pusat kota, bahkan lintas benua. Aku ingin mendampingimu ke mana pun. Tapi yang paling kuinginkan, bawa aku menuju surga-Nya bersamamu. 

Salam rindu,
dari (calon) perempuanmu.

Bandung, 4 Mei 2015, 21.01.
Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<