Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Selasa, 27 Oktober 2015

Sebuah Alasan



Kau selalu datang tanpa alasan yang benar. Jauh sebelum kau datang dan mengajakku berbincang... aku pernah membayangkan, akankah kau datang setelah semua alasan telah habis? Setelah tak ada lagi hal-hal yang dianggap perlu untuk didiskusikan. Ternyata kau datang, seperti sebelum-sebelumnya. Membawa kembali pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran. Alasan kebertahanan yang selama ini kupegang seolah terabaikan. Sampai suatu ketika..., aku mendapati diriku hilang terbawa arus perasaan yang terbangun tanpa sadar, berulang kali.  

Sepagi ini, kau mengajakku ke sebuah tempat. Membawaku ke sebuah ruang yang dipenuhi pajangan lukisan, dilengkapi puisi pendek di setiap lukisannya. Kau biarkan aku melihat-lihat lukisan tanpa memberikan penjelasan apa-apa. Sementara puisi tak bisa kumaknai dengan sempurna. Namun aku seperti menemukan kejujuran di sana. Kejujuran yang harus kuterka sendiri, karena penjelasanmu pun tetap tak dapat kumengerti. Tetapi aku sudah cukup bahagia. Tanpa butuh alasan apa-apa.

"Kau sudah menemukan sesuatu?" tanyamu dengan simpul senyuman.

"Apa yang bisa aku temukan di sini?"

"Seluruh ruangan ini adalah penjelasannya."

"Aku sama sekali nggak menemukan apa yang aku cari di sini."
Setelah itu, kau kembali mengajakku ke tempat lain. Kali ini, aku tahu tempat itu. Di sini, kau tidak mempunyai kuasa apa-apa. Kau memintaku menunjukkan jalan. Ada yang sedang kaucari, katamu. Seperti halnya aku yang sedang berusaha menemukan kejujuran pada kata-katamu.

Perlahan-lahan, aku terpaku melihat ruangan yang sangat kukenal. Sebuah ruangan yang tak ingin kubiarkan orang masuk sesukanya. Namun kau berhasil menggeser knop pintunya. Entah kau menemukan kuncinya dimana, tapi seingatku, kunci itu telah kusimpan di tempat paling aman.
Kau menengok ke dalam ruangan kecil di ruang itu. Menyisir pandangan ke tiap sudutnya sebentar, lalu membiarkan pintu terbuka. Tanpa bermaksud untuk masuk, atau sekadar menutupnya lagi. Kuncinya kau patahkan, tepat di depanku. Padahal kau sangat tahu, ruangan itu adalah rahasiaku. Privasiku. Kau bahkan tak melihat air mukaku yang berubah saat itu. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
"Kau... sungguh...." Aku kehilangan kata-kata. Terlalu banyak pikiran dan segala rasa berkecamuk dalam dada.
Kau menoleh, lantas memicingkan mata sebentar. "Apa?" tanyamu untuk memastikan bahwa kau tak salah dengar.

"Kunci itu... kenapa  kau patahkan?"

"Oh." Kau malah tertawa sendiri lalu memandangku dengan senyum yang menyebalkan. "Supaya aku bisa masuk tanpa susah payah memintamu untuk membukanya, Nona."

"Cih." Aku memalingkan wajah sebentar. "Apa yang kau temukan di dalam?" tanyaku akhirnya, penasaran.

"Ada sebuah kotak berdebu," katamu sembari menyeringai lebar. Aku tiba-tiba sulit bernapas saat itu juga.

"\Kotak itu...penuh rindu? atau cinta?" tanyamu lagi.

"Jangan mengada-ngada. Nggak akan ada orang yang tahu kebenarannya, jika hanya menengok dari muka pintu. Jadi, berhenti menerka-nerka."

"Begitu? kalau begitu akan kubuktikan bahwa terkaanku benar."

"Coba saja kalau bisa..."

Kau berpikir agak lama. Wajahmu dipenuhi pertimbangan-pertimbangan. "Nanti. Bukan sekarang..." katamu lagi. Kali ini, nada bicaramu sedikit ragu. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku menemukan sesuatu yang tadi tak kutemukan.

"Haha. Aku mengerti sekarang," jawabku dengan senyum yang dipaksakan. "Kau, sadar tidak, yang kau lakukan barusan... seperti memberi jalan kepada orang lain untuk masuk. Kau buka pintunya, lantas pergi dengan keadaan pintu terbuka. Kau patahkan kuncinya supaya bisa masuk sesukanya, begitu? Nggak terpikirkah..., orang lain bisa saja masuk lebih dulu, sebelum kau datang. Karena kau yang memberi kesempatan."

Kau diam sebentar seperti sedang berpikir.  "Begitu ya?" tanyamu, masih dengan sikap begitu santai.

Kepalaku tiba-tiba pening. Baiklah, percakapan ini harus sampai pada akhir: sebuah keputusan. "Kita nggak pernah tahu, akan ada apa di depan sana. Apapun bisa terjadi kan?"

Kau tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepala. "Itu benar, Nona. Hmm..., mengobrol denganmu selalu menarik ya!" Kau malah menggodaku, membuat aku ingin melengos seketika.
"Berhenti memanggilku nona!"

"Hahaha. Lantas apa?"
Aku tidak menggubris. Saat itu, aku hanya bisa memalingkan wajah. Menutupi sesuatu yang sedari tadi terkoyak, di dalam sana. Kemungkinan dan segala ketidakmungkinan berkelebat dalam pikiran. Iya, aku telah menemukan sesuatu... meski sebenarnya aku pun tidak ingin buru-buru mengetahuinya.

"Baiklah. Sebaiknya kita akhiri saja percakapan ini," katamu lagi, seperti mampu membaca situasi. Bahwa sekarang... aku benar-benar ingin berhenti.
"Jadi... sampai di sini saja?" tanyaku untuk memastikan lagi. Kau diam saja. Sibuk dengan pikiran-pikiranmu sendiri. "Baiklah aku mengerti!"

Bukan hanya percakapan kita yang berakhir. Alasan-alasan untuk saling memulai percakapan pun akan kuakhiri. Aku akan berhenti. Bukan karena engkau yang tak ingin berhenti. Bukan juga karena kepastian samar yang kudapati. Bukan. Aku bahkan telah menemukan kepastian itu sendiri. Kepastian bahwa yang pasti adalah ketidakpastian.

NL/27/10/2015/
gambar dari sini

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<