Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Sabtu, 26 Desember 2015

Menjadi Perempuan (Dewasa)

Masa tersulit bagi perempuan adalah ketika menjalani proses transisi dari seorang gadis (remaja) menjadi perempuan dewasa. Begitu, kata Simone de Beavoir dalam bukunya The Second Sex. Dan, memang benar adanya. Peralihan menjadi dewasa menuntut sikap feminin -yang didefinisikan sebagai sikap patuh, penurut, lemah, manajerial-. Perempuan tidak lagi memikirkan hal-hal berkaitan dirinya sebagai prioritas utama, ia harus menekan kemauan dan perasaannya sendiri demi orang-orang yang penting baginya, keluarga misalnya. Dan, itu tidak mudah.

Perempuan diberikan kebebasan yang sama untuk memiliki cita-cita setinggi langit. Tapi, ketika dihadapkan pada "kewajiban", ia kemudian harus menata kembali persepsinya -tentang dunia dan cita-citanya- melalui sudut pandang yang berbeda. Kadang-kadang, kita perlu menelisik kembali apa yang telah terpatri dalam hati.

Tidak perlulah menunggu menikah dulu, ego perempuan, pada akhirnya harus bisa diredam karena satu dan lain hal. Seperti saya, misalnya, berkali-kali harus rela melewatkan berbagai kesempatan "bekerja" karena alasan: saya perempuan. Tidak boleh berlaku macam-macam. Tidak perlu pergi jauh dari keluarga hanya untuk bekerja. Jika belum ada tempat yang baik, diam di rumah dan mengurus keluarga. Padahal tujuan saya bekerja pun, untuk membantu keluarga, ketimbang di rumah saya hanya membebani.

Sepertinya budaya patriarki (bapak-isme) dalam keluarga saya sangat kental. Kalau bapak sudah berkata, ya sudah. Saya paham, ini pembelajaran buat saya. Meski sempat merasa "terkurung" rutinitas yang melelahkan dan membosankan. Terjebak menjadi ibu rumah tangga (gadungan) saaangat tidak mudah. Daftar pekerjaan rumah tangga yang seolah remeh itu seperti tak pernah habis. Tapi, lebih melelahkan melepas segala keinginan dan perasaan sendiri. Menekan ego sendiri. Saya masih ingin mengembangkan diri: bekerja, kuliah (lagi), berkegiatan. Saya -perempuan yang banyak maunya-, pada akhirnya hanya bisa patuh, berlatih menjadi ibu rumah tangga. Hakhak. Sembari berdoa, semoga seiring waktu menemukan keikhlasan, agar dicatat sebagai amal ibadah.
Saya tahu, ini hanya sementara. Tapi menjadi ibu rumah tangga tidak pernah mudah, Tuan-tuan. Saya tidak akan berdebat soal mana yang lebih baik perihal menjadi-ibu-rumah-tangga atau ibu-yang-bekerja. Setiap orang memiliki kesadaran penuh atas konsekuensi pilihannya. Tentu saja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang tidak sebentar. Bagi saya, bukankah setiap ibu adalah ibu rumah tangga? Terlepas ia bekerja atau tidak, fitrah perempuan adalah menjadi ibu bagi "rumah dunia"-nya.

Kemudian, kembali ke menjadi-perempuan-dewasa. Mengalami masa transisi juga tidak mudah. Berkali-kali harus mengingat kembali visi hidup (untuk ibadah), meski ego dikekang. Nafsu diri (terpaksa) dipenjara. Bagaimana pun keadaan membentuk sistem hidupmu sekarang, tapi toh visi hidup harus terjalankan. Untuk beribadah. Untuk belajar. Karena hidup kita adalah proses pembelajaran yang panjang.

Yakinkan diri bahwa ini proses menuju kedewasaan. Dan, menjadi dewasa itu tidak harus kaku. Menjadi dewasalah, dengan versi terbaik dirimu. Seperti apa adanya kamu. Meski dengan gaya santai, tapi pemikiran matang, itu dewasa juga, kan?

Kepada diri, jadilah perempuan dewasa yang kuat, cerdas, mandiri, dan dapat mengatur diri agar dapat menyenangkan keluarga tanpa harus merasa diperbudak keadaan. Jadilah perempuan yang rendah hati tapi tidak rendah diri.

Selamat menuju kedewasaan, Nona!
Maaf, meracau.

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<