Beranda Ulvia

potret | rekam | kata

Kamis, 28 April 2016

Kepada Puisi

/1/
Tenanglah, aku tidak sedang meninggalkanmu, puisi. Meski dari purnama hingga purnama selanjutnya, jemariku masih kesulitan merangkai pertemuan kata. Tapi aku masih setia. Aku tidak sedang atau hendak jatuh cinta pada prosa atau apa saja selain engkau. Kau masih menawanku dengan panah kata-kata yang kaulesatkan;

menjadi busur rindu, pijar cahaya, juga apa saja yang menjelma semesta. Meski percakapan seringkali reda dan aku masih enggan menyambangimu di tempat kau menggelar kejujuran.

/2/
Tapi berbait-bait sajakmu tak pernah tuntas kubaca. Pada buku-buku yang memuat nama-nama penyair, pada tembok yang melukiskan mural puisi, atau pada kidung senja. Kau masih menjadi doa yang senantiasa membujuk Tuhan di puncak keheningan. Katakan bagaimana seharusnya aku menulis puisi tanpa disebut penyair. Sebab penyair kerapkali mencipta kejujuran yang hanya sebagian orang terima,

bahkan enggan untuk memahaminya. Anak-anak kata selalu gagal kuasuh dan kuasah menjadi puisi cinta. Maka aku berulang kali urung menulis engkau, puisi, kata-kataku kehilangan makna. Kehilangan nama

tapi aku merindukanmu.

/3/
Aku masih menunggumu melayangkan kabar dari ruang pertemuan sampai ke entah berantah. Percayalah, tak ada yang lebih merajam ingatan selain menahan kerinduan padamu. 

April, 2016.

Selamat hari puisi, Puisi!

0 tanggapan:

Posting Komentar

sila berkomentar :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Let's be friends!

>> <<